Vonis 10 bulan hukuman penjara dan denda Rp. 10 juta dengan subsider tiga bulan penjara akhirnya diputuskan oleh Pengadilan Negeri Majalengka kepada dua terdakwa perdagangan kukang jawa di Kabupaten Majalengka. Putusan atas keduanya lebih rendah ketimbang tuntutan Jaksa Penuntut Umum pada persidangan 6 Mei lalu, yakni satu tahun kurungan penjara dan denda Rp10 juta subsider tiga bulan penjara.
Dalam putusannya, majelis hakim menyatakan Yaya dan Yana telah terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana bersama-sama menangkap, menyimpan, memiliki, memelihara hewan, yang dilindungi jenis Kukang Jawa. Keduanya dijerat Pasal 21 ayat (2) juncto Pasal 40 ayat (2) Undang Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistemnya.
Yaya dan Yana sebelumnya diamankan Polres Majalengka dalam Operasi Penangananan Peredaran atau Penertiban Tumbuhan dan Satwa Liar yang Dilindungi di Desa Cibodas, pada 9 Januari 2019. Polisi mengamankan barang bukti 79 ekor Kukang Jawa yang telah dimasukkan dalam 39 keranjang buah dan sekotak kayu.
Puluhan primata endemik itu diketahui dikumpulkan dari hasil perburuan liar sejak November 2018. Mereka kemudian akan dikirim ke Shanghai, Cina, melalui Surabaya, Jawa Timur.
Efek jera bagi kejahatan satwa liar
Vonis atas kedua terdakwa perdagangan Kukang Jawa itu disayangkan sejumlah pegiat pelestarian satwa. Salah satunya, Kukangku berupa sebuah gerakan kampanye penyelamatan dan pelestarian kukang dari ancaman perburuan, perdagangan, dan pemeliharaan.
Founder Kukangku, Ismail Agung menyatakan, vonis yang diberikan kepada kedua terdakwa sangat rendah dibanding kasus serupa dengan jumlah kukang yang lebih sedikit.
“Di Padang, kasus perdagangan enam ekor kukang divonis hingga tiga tahun penjara. Seharusnya kasus perdagangan satwa dilindungi dengan dugaan indikasi jaringan perdagangan internasional di Majalengka ini divonis lebih tinggi,” tuturnya.
Berkaca dari kasus ini, seharusnya penegak hukum dapat membongkar jaringan perdagangan kukang yang kini mulai mencakup skala internasional.
Di sisi lain, penegakan hukum terhadap kejahatan satwa sendiri diharapkan berdampak pada pengurangan perburuan dan perdagangan primata endemik ini.
“Tapi, putusan yang rendah dari majelis hakim dikhawatirkan tak memberi efek jera kepada para pelaku kejahatan satwa,” cetusnya.
Sementara, Kukang Jawa banyak diburu dan diperdagangkan sebagai hewan peliharaan atau kebutuhan ritual mistik. Populasi primata dilindungi ini pun terus menurun dan terancam kepunahan.
Selama 24 tahun terakhir, populasi Kukang Jawa menurun sekitar 80%. Sayang, tidak ada angka pasti terkait jumlah kukang yang ada saat ini mengingat minimnya penelitian.
“Hitungannya memang bukan dari populasi di alam karena masih minim penelitian, melainkan dari angka perburuan dan perdagangan. Pada 2007, Profauna pernah merilis angka perdagangan kukang mencapai 7000 individu tiap tahunnya,” sebut Agung.
Data International Union for the Conservation of Nature and Natural Resources (IUCN) sendiri menyatakan, Kukang Jawa termasuk dalam daftar merah dengan status kritis/critically endangered (CR) yang berarti satu langkah lagi menuju kepunahan.
“Satwa ini juga masuk ke dalam daftar Convention on International Trade in Endangered Species (CITES) dengan status Apendix I, yang berarti perdagangan maupun pemanfaatannya dilarang secara internasional,” jelasnya.
Revisi Undang-undang konservasi
Senada, Gardaanimalia yang juga dikenal sebagai pembela satwa liar, suatu organisasi yang fokus pada upaya penegakan hukum, advokasi, dan konservasi satwa liar di Indonesia, merasa, vonis atas Yaya dan Yana terlalu rendah untuk kasus skala besar seperti ini.
“Bahkan, pihak BKSDA sudah menyatakan kasus perdagangan kukang itu terbesar se-Jawa Barat, diduga skala internasional pula,” ungkap koordinator publikasi dan pengelolaan media gardaanimalia, Remy.
Pihaknya mendorong penjatuhan hukuman maksimal lima tahun penjara dan denda Rp100 juta, bahkan lebih, bagi pelaku kejahatan semacam ini. Pemerintah didesak merevisi UU Nomor 5 Tahun 1990 Tentang Konservasi yang dipandang tak lagi relevan dengan kondisi kejahatan saat ini.
“Bayangkan, untuk satu ekor satwa langka eksotis dan dilindungi, bisa dijual dengan harga di atas Rp100 juta. Sementara hukuman paling banyak lima tahun penjara dengan denda Rp100 juta. UU ini harus direvisi agar sanksi hukum lebih tegas, memberi efek jera pada pelaku, dan menghentikan rantai perdagangan satwa liar, khususnya satwa dilindungi di Indonesia,” tegasnya.
Menurutnya, ketika hukum lemah, pelaku kejahatan tak akan jera dan kejahatan terus berlangsung. Selain pemerintah, pihaknya juga mendorong media massa mengedukasi masyarakat ihwal pentingnya menjaga satwa dilindungi di Indonesia.
Dia menyebutkan, saat ini, kondisi satwa yang dilindungi memprihatinkan, terutama akibat maraknya perdagangan satwa liar.
Kasus kejahatan terbesar di Jawa Barat
Kepala Seksi Konservasi Wilayah VI Tasikmalaya BKSDA Provinsi Jawa Barat, Didin Syarifudin, mengatakan perdagangan kukang di Majalengka ini merupakan kasus terbesar yang berhasil ditangani di Jawa Barat.
Pasalnya, petugas berhasil mengamankan barang bukti sebanyak 79 ekor kukang jawa yang telah dimasukkan ke dalam 39 keranjang buah dan 1 kotak kayu.
Didin juga menegaskan pihaknya menghormati keputusan majelis hakim atas pertimbangan putusan kedua terdakwa.
“Adanya penegakan hukum ini kami berharap semoga menjadi perhatian masyarakat agar tidak melakukan perbuatan serupa, yaitu tidak memelihara, menangkap, melukai, memiliki dan memperjualbelikan satwa liar dilindungi.” kata Didin Syarifudin.
Sumber berita: tribunnews.com, ayocirebon.com