Nama Panggilan
Di kawasan Priangan Sunda, kukang jawa sering disebut dengan beragam nama. Seperti, Muka, Malu-malu, Aeud, dan juga Oces. Secara internasional, kukang jawa yang memiliki nama latin Nycticebus javanicus (É. Geoffroy, 1812) disebut dengan Javan Slow Loris.
Status Konservasi
Kukang jawa terdaftar dalam jenis satwa dilindungi Indonesia berdasarkan Peraturan Menteri LHK Nomor P.106/MENLHK/SETJEN/KUM.1/12/2018 dan didukung melalui Undang-Undang No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistemnya.
Kukang sudah dilindungi sejak tahun 1973 melalui keputusan Menteri Pertanian melalui surat No. 66/Kpts/Um/2/1973. Saat itu, semua kukang di Indonesia masih merujuk kepada spesies Nycticebus coucang.
Berdasarkan tingkat kepunahannya, IUCN menempatkan kukang ke dalam kategori Kritis (Critically Endangered). Kategori ini berada satu tingkat di bawah kepunahan. Hal ini disebabkan karena selama rentang 24 tahun terakhir atau tiga generasi, populasi kukang jawa diperkirakan telah menurun hingga 80%.
Sedangkan menurut CITES, sama seperti jenis kukang lainnya, kukang jawa masuk ke dalam Appendiks I. Yang artinya, jenis satwa ini dilarang untuk diperjualbelikan.
Catatan Taksonomi
Taksa ini sebelumnya dianggap sebagai subspesies dari Nycticebus coucang, namun dinaikan oleh Groves dan Maryanto (2008) sebagai spesies tersendiri. Hal ini kemudian didukung oleh studi morfologi yang dilakukan oleh Nekaris dan Jaffe (2008) juga Nekaris dan Munds (2010), dan studi genetik oleh Roos (2003) dan Wirdateti et al. (2006).
Dua morfologi berbeda ditemukan di pasar burung, sehingga memerlukan studi lebih lanjut mengenai ini (Nekaris dan Jaffe 2007). Akan tetapi, studi taksonomi harus berhati-hati karena perpindahan individu dapat terjadi dari pasar ke hutan dan kebun di seluruh pulau (Schulze dan Grooves 2004). Penampakan rambut panjang hitam dan putih yang berbeda pada sub-dewasa dan remaja juga dapat disalahartikan sebagai spesies terpisah, misalnya, dalam spesimen museum atau hanya dari foto (KA. Nekaris et al. Pers. Comm. 2012).
Ciri Identifikasi
Panjang tubuh jantan dan betina dari kepal hingga pangkal ekor sekitar 280-320 mm, ekornya pendek dan melingkar, panjangnya hanya sekitar 10-20 mm. Berat tubuh kukang jantan dewasa hampir satu setengah kali dari berat betina dewasa. Berat tubuh betina dewasa lebih kurang 575 gram dan jantan sekitar 750 gram. Rambut yang tumbuh di sekujur tubuh sangat lebat dan halus. Warna rambut kelabu keputih-putihan. Pada punggung terdapat garis cokelat melintang dari bagian belakang tubuh hingga dahi. Rambut sekitar telinga berwarna cokelat serta di sekitar mata juga berwarna cokelat membentuk bulatan sehingga menyerupai kacamata.
Sebaran
Sebaran kukang jawa terbatas di Pulau Jawa, seperti di dalam kawasan taman nasional cagar alam, atau suaka margasatwa. Berdasarkan data dari upaya penegakan hukum, informasi sebaran kukang jawa meluas hingga ke bagian timur jawa, Kediri.
Informasi Populasi
Populasi Kukang Jawa tercatat dengan kepadatan yang sangat rendah (0.02-0.20/km) (Nekaris et al. 2008). Berdasarkan beberapa survey lapangan yang dilakukan di bagian hutan besar mendapatkan sedikit atau tidak ada sama sekali kukang yang ditemukan (Ujung Kulon, Halimun-Salak, Carita Nature Recreation Park, Gunung Gede Pangrango, Cibodas, Talaga Sumrut Game Reserve, Masigit Kareumbi, Slamet, Dieng) (Voskamp et al., 2013), hal ini mengindikasikan penurunan populasi lebih dari 80% dari luas sebarannya.
Beberapa populasi kecil dan terisolasi sering ditemukan di kebun atau lahan pertanian, yang mana sangat berisiko terhadap perburuan dan mudah diambil untuk diperjualbelikan sebagai peliharaan. Sebagian populasi yang menurun di habitat ini telah terdata (Wirdateti et al. 2004, 2011; Voskamp et al., 2013).
Survey khusus di Gunung Gede Pangrango menunjukkan kepadatan populasi sebesar 15.6 individu/km², yang jika dihitung maka ada sekitar 70 individu kukang pada area studi (Nekaris et al., 2014). Berdasarkan hasil survey tersebut, kecepatan berjalan yang lambat saat melakukan pengamatan sangatlah penting untuk mendeteksi keberadaan kukang.
Dalam studi lebih lanjut dengan jangkauan geografis yang lebih luas, survey populasi yang dilakukan di bagian Jawa Timur menemukan kukang di beberapa tempat seperti Hutan Tumpang Pitu, Taman Nasional Meru Betiri dan Hutan Salakan.
Habitat & Ekologi
Kukang Jawa merupakan satwa nokturnal dan arboreal, dan biasanya dapat ditemukan di hutan sekunder, perkebunan, dan batas tertentu di dalam hutan primer. Kukang membutuhkan kanopi pepohonan yang saling terhubung karena adaptasi alat geraknya yang unik, meskipun ia bisa saja melintas pada ruang terbuka yang pendek melalui tanah. Makanan kukang sebagian besar merupakan getah kayu, nektar bunga, dan serangga, juga buah dengan komposisi yang sangat terbatas untuk memenuhi kebutuhan nutrisi (Moore et al. 2015; Wirdateti et al. 2004, 2011; Rode, et al. 2014).
Kukang biasa tidur sendirian, tapi seringkali dalam unit sosial atau kelompok penggunaan ruang terdiri dari dua atau tiga individu, dan dalam grup bisa hingga enam individu, pada area vegetasi 2-30 m. Biasanya kukang ditemukan pada rerimbunan bambu atau di antara ranting-ranting, tapi bukan di lubang pohon (Wirdateti et al. 2004, Nekaris 2014).
Area jelajah sangat bergantung pada kondisi habitat, dari 3 hingga 30 ha. Meski kadang terlihat sendiri, kukang bisa saja ditemukan bersama pasangan sosialnya hingga bertiga, seperti pasangan induk dan bayi/remaja. Kukang bisa ditemukan hingga ketinggian 2.300 mdpl, meskipun jarang pada elevasi yang lebih tinggi.
Dari hasil pengamatan, kukang tampak lemas pada elevasi tinggi (Nekaris, 2014). Kukang termasuk satwa berbisa, bisa kukang efektif untuk melawan kukang lain serta ekto-parasit, dan dapat menyebabkan reaksi alergi anafilaksis atau kematian pada manusia (Nekaris, et al. 2013).
Ancaman
Jawa adalah salah satu pulau dengan populasi terpadat di dunia dan memiliki sejarah yang panjang mengenai pembukaan hutan. Meluasnya habitat yang hilang dan fragmentasi mengancam kukang jawa di habitatnya. Dibandingkan dengan jenis kukang lainnya di Indonesia, kukang jawa secara signifikan semakin rentan oleh aktivitas manusia dikarenakan meningkatnya penggunaan lahan (Thorn et al. 2009).
Perubahan hutan secara intensif menjadikannya tak lagi layak sebagai habitat kukang dan mengisolasi satu sama lain. Kurangnya kesinambungan pada kawasan dilindungi dapat menjadi ancaman bagi populasi kukang. Konversi lahan menjadi perkebunan pertanian berkorelasi dengan penurunan tajam populasi kukang selama 10 tahun terakhir (Wirdateti dan Dahrudin, 2011).
Kukang jawa, sama seperti kukang lainnya di Indonesia, sengaja diburu untuk diperjualbelikan sebagai peliharaan, juga digunakan sebagai media klenik dan obat tradisional (Nekaris et al. 2010, Shepherd et al, 2004). Bersama jenis kukang lainnya, Kukang Jawa adalah salah satu jenis primata dilindungi yang paling umum ditemukan di pasar hewan di Jawa (Nekaris et al. 2008, Thorn et al. 2009).
Karena cara bergeraknya yang tidak dapat melompat, juga perilakunya yang nokturnal, pemilihan pohon tidur sangat mudah untuk dijangkau dan ditebang oleh manusia (Nekaris and Starr 2015). Secara besar, perdagangan kukang terjadi untuk memenuhi permintaan domestik, dan dalam jumlah kecil lainnya diselundupkan untuk dikirim ke Timur tengah dan Jepang (Musing et al. 2015). Kukang kemudian muncul di video online yang mana turut mendukung rantai perdagangan satwa (Nekaris et al. 2013).
Rantai perdagangan ilegal menimbulkan ancaman berbahaya lainnya bagi kukang. Kondisi selama pengangkutan yang disimpan dalam kotak atau karung yang sempit, perawatan satwa yang tidak tepat (nutrisi pakan yang rendah, kondisi kandang sosial, pemaksaan aktivitas di siang hari, dan penanganan yang berlebihan), mengakibatkan tingginya angka kematian.
Sebagai satu-satunya primata yang berbisa, pengepul atau pedagang memotong gigi kukang agar terhindar dari gigitannya. Praktek ini seringkali menjadi penyebab kematian kukang (Nekaris dan Starr 2015). Kukang tanpa gigi yang berhasil diselamatkan melalui penyitaan, terbukti sulit untuk dikembalikan ke habitatnya. Kukang tanpa gigi bukanlah kandidat yang layak, dalam studi selama dua tahun terhadap 11 individu kukang sehat yang dilepasliarkan menggunakan kalung radio, hanya dua yang diketahui bertahan (Moore et al. 2015).
Percampuran gen atau hibrid merupakan ancaman nyata baik di Jawa ataupun tempat lainnya. Beberapa taksa kukang diketahui terjadi percampuran di kebun binatang. Dari hasil pengamatan, kukang jawa terpantau berada di pasar hewan di luar Jawa (Medan dan Bandar Lampung di Sumatra) dan kukang jenis lainnya (kukang sumatera, kukang kalimantan) terpantau ada di pasar hewan Jawa.
Karena kemiripan morfologi dari spesies kukang, kesalahan identifikasi bisa terjadi. Selain itu, ada anggapan umum untuk melepaskan kukang begitu saja tanpa verifikasi yang jelas. Hal tersebut tidak hanya menimbulkan risiko kesejahteraan bagi individu kukang, tapi juga satwa mungkin membawa penyakit dan parasit pada saat dipindahkan, dan juga berpotensi terjadinya hibridisasi (Nekaris et al. 2008, Schulze dan Groves 2004).
Tren Populasi
Menurun
Jika Menemukan Kukang Jawa
Pustaka
Gray A, Wirdateti, Nekaris, K.A.I. 2015. Use of exudate-based enrichment to improve the welfare of captive slow lorises (Nycticebus spp.) rescued from the illegal pet trade in Indonesia. Endangered Species Research 27: 21-29.
Groves, C. and Maryanto, I. 2008. Craniometry of slow lorises (genus Nycticebus) of insular Southeast Asia. In: M. Shekelle, T. Maryano, C. Groves, H.; Schulze and H. Fitch-Snyder (eds), Primates of the Oriental Night, pp. 115-122. LIPI Press, West Java, Indonesia.
Groves C.P. 2001. Primate Taxonomy. Smithsonian Institution Press, Washington, DC, USA.
IUCN. 2020. The IUCN Red List of Threatened Species. Version 2020-2. Available at: www.iucnredlist.org. (Accessed: 13 June 2020).
Moore, R.S., Cabana, F., Nekaris, K.A.I. 2015. Factors influencing stereotypic behaviours of animals rescued from Asian animal markets: a slow loris case study. Journal of Applied Animal Behaviour Science 166: 131-136.
Moore, R.S., Wihermanto, Nekaris, K.A.I. 2014. Compassionate conservation, rehabilitation & translocation of Indonesian slow lorises. Endangered Species Research 26: 93-102.
Musing L, and Nekaris, K.A.I. 2015. Crossing international borders: the trade of slow lorises, Nycticebus spp., as pets in Japan. Asian Primates 5: 12-24.
Nekaris, K.A.I. 2014. Extreme primates: slow and slender lorises as a model for primate evolution. Evolutionary Anthropolog 23(177-187).
Nekaris, K.A.I. and Jaffe, S. 2007. Unexpected diversity within the Javan slow loris trade: implications for slow loris taxonomy. Contributions to Zoology 76: 187-196.
Nekaris, K.A.I. and Munds, R. 2010. Chapter 22: Using facial markings to unmask diversity: the slow lorises (Primates: Lorisidae: Nycticebus spp.) of Indonesia. In: S. Gursky-Doyen and J. Supriatna (eds), Indonesian Primates, pp. 383-396. Springer, New York.
Nekaris, K.A.I. and Nijman, V. 2007. CITES proposal highlights rarity of asian nocturnal primates (Lorisidae: Nycticebus). Folia Primatologica 78: 211-214.
Nekaris, K.A.I. and Starr, C.R. 2015. Conservation and ecology of the neglected slow loris: priorities and prospects. Endangered Species Research 28(1): 87-95.
Nekaris, K.A.I., Arisona, A.P.J., Achmed, D., Nijman, V. 2014. Densities, distribution and detectability of a small nocturnal primate (Javan slow loris Nycticebus javanicus) in a montane rainforest. Endangered Species Research 24: 95-103.
Nekaris, K.A.I., Blackham, G.V. and Nijman, V. 2008. Conservation implications of low encounter rates of five nocturnal primate species (Nycticebus spp.) in Asia. Biodversity and Conservation 17(4): 733-747.
Nekaris, K.A.I., Campbell, N., Coggins, T.G., Rode, E.J., and Nijman, V. 2013. Tickled to death: analysing public perceptions of ‘cute’ videos of threatened species (slow lorises–Nycticebus spp.) on web 2.0 Sites. PloS one 8(7): e69215.
Nekaris, K.A.I., Moore, R.S., Rode, E.J. and Fry, B.G. 2013. Mad, bad and dangerous to know: the biochemistry, ecology and evolution of slow loris venom. J Venom Anim Toxins incl Trop Dis 19(1): 21.
Nekaris, K.A.I., Shepherd, C.R., Starr, C.R. and Nijman, V. 2010. Exploring cultural drivers for wildlife trade via an ethnoprimatological approach: a case study of slender and slow lorises (Loris and Nycticebus) in South and Southeast Asia. American Journal of Primatology 72(10): 877-886.
Rode, E.J., Wirdateti, Nekaris, K.A.I. 2014. Ethology of the Critically Endangered Javan slow loris (Nycticebus javanicus) in West Java. Asian Primates 4(2): 27-41.
Roos, C. 2003. Molekulare Phylogenie der Halbaffen, Schlankaffen, und Gibbons. Technischen Universität.
Schulze, H. and Groves, C.P. 2004. Asian lorises: taxonomic problems caused by illegal trade. In: T. Nadler, U. Streicher U. and H. Thang Long (eds), Conservation of Primates in Vietnam, Frankfurt Zoological Society, Frankfurt.
Shepherd, C.R., Sukumaran, J. and Wich, S.A. 2004. Open season: an analysis of the pet trade in Medan, Sumatra, 1997-2001. TRAFFIC Southeast Asia, Selangor, Malaysia.
Starr, C., and Nekaris, K.A.I. 2013. Obligate exudativory characterizes the diet of the pygmy slow loris Nycticebus pygmaeu. American Journal of Primatology 75(10): 1054-1061.
Thomas, O. 1921. Two new species of slow-loris. Annals and Magazine of Natural History 8: 627-628.
Thorn, J.S., Nijman, V., Smith, D. and Nekaris, K.A.I. 2009. Ecological niche modeling as a technique for assessing threats and setting conservation priorities for Asian Slow Loris (Primates: Nycticebus). Diversity and Distributions 15: 289–298.
Voskamp, A., Rode, E.J., Coudrat, C.N.Z., Wirdateti, Nawanto, A,, Wilson, R., Nekaris, K.A.I. 2014. Habitat preferences and distribution of the Critically Endangered Javan slow loris (Nycticebus javanicus). Endangered Species Research 23: 277-286.
Wirdateti and Dahrudin, H. 2011. Distribution and habitat Javan Loris (Nycticebus javanicus) in Halimun Park and garden area Garut District. Program Insentif dan Perekayasa LIPI-Ristek 2011.
Wirdateti, Dahrudin, H. and Sumadidjaya, A. 2011. Distribution and habitat of Javan Loris (Nycticebus javanicus) in plantations at Lebak District and Salak Mount (West Java). Journal Zoo Indonesia 20(1): 17-26.
Wirdateti, Okayama, T. and Kurniati, H. 2006. Genetic diversity of slow loris (Nycticebus coucang) based on mitochondrial DNA . Tropics 15(4): 377-381.
Wirdateti, Setyorini, L.E., Suparno and Handayani, T.H. 2004. Feeding and habitat of Slow Loris (Nycticebus coucang javanicus) in Badui Tribe conservation forest, Rangkasbitung-south Banten . Biodiversitas 6(1): 45-49.