Kukang jenglot, itulah nama yang diberikan adik-adik pramuka Saka Wanabakti saat menemukan kukang dengan kondisi tubuh yang mengerikan. Tubuhnya penuh dengan infeksi parah pada kulit. Badannya kurus kering, mata cekung dan rambut yang rontok, persis karakter Gollum dalam film Lord of the Ring.
Si kukang jenglot kemudian dievakuasi dan dirawat di Pusat Penyelamatan Satwa Badan Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Lampung untuk mendapatkan penanganan medis dari dokter.
Berdasarkan pemeriksaan dokter, kondisi fisik yang diderita kukang jenglot adalah penyakit skabies, penyakit kulit yang dikenal juga dengan istilah kudis atau gudik. Skabies bersifat zoonosis karena disebabkan oleh tungau Sarcoptes scabiei. Tungau yang bereproduksi akan masuk ke dalam kulit untuk bertelur, hal ini lah yang menyebabkan kulit terasa sangat gatal akibat reaksi alergi. Rasa gatal ini cenderung meningkat pada malam hari.
Tungau yang berukuran sangat kecil bisa bertahan hingga dua bulan di dalam kulit, atau bahkan menyebarluas pada area tubuh lainnya untuk melakukan proses yang sama. Tentu saja, skabies bisa menular dan menyebar ke hewan lainnya dengan cepat melalui kontak fisik, bahkan kepada manusia.
Skabies Pada Hewan dan Manusia
Kejadian skabies pada umumnya terjadi pada hewan domestik peliharaan dan juga hewan ternak seperti kambing, domba, kerbau, sapi, kuda, babi dan anjing. Namun tidak menutup kemungkinan penyakit ini dapat dirasakan oleh satwa liar lainnya. Seperti kasus yang ditemukan dalam buku Skabies : Tantangan Penyakit Zoonosis Masa Kini dan Masa Datang, menunjukan hewan rubah merah yang ditemukan dengan dugaan kuat terjangkit penyakit bersifat zoonosis ini. Gejala klinis yang ditimbulkan akibat infeksi S. scabiei pada hewan hampir sama, yaitu gatal-gatal, hewan menjadi tidak tenang, lalu menggosok-gosokan tubuhnya dan akhirnya timbul peradangan kulit.
Lalu lintas ternak dari satu tempat ke tempat lainnya menjadi pintu masuknya bibit penyakit skabies. Contoh kasus ditemukan pada hewan kuda dan babi yang peka terjangkit skabies. Karenanya, hewan yang datang atau dikirim ke daerah lain harus dikarantina selama empat belas hingga tiga puluh hari. Hewan yang terserang skabies disarankan untuk diisolasi dari kelompoknya sebelum penyakit dapat disembuhkan.
Berdasarkan analisis April H. Wardhana dalam bukunya Skabies : Tantangan Penyakit Zoonosis Masa Kini dan Masa Datang, menunjukan bahwa kejadian skabies pada manusia banyak dijumpai. Umumnya, pada daerah tropis terutama di kalangan anak-anak dari lingkungan masyarakat dengan kondisi berdesak-desakan. Di Indonesia, kasus skabies dikatakan cukup tinggi. Data penderita skabies yang terhimpun dari klinik Penyakit Kulit dan Kelamin, Rumah Sakit Palang Merah Indonesia (RS PMI) Bogor dari tahun 2000 – 2004 tercatat ada enam belas pasien.
Penularan skabies pada manusia sama seperti cara penularan skabies pada hewan, secara kontak langsung dengan penderita. Pakaian, handuk, sprai dan barang-barang lainnya yang digunakan juga oleh penderita.
Pada tahun 2017, kasus skabies pada manusia masih dijumpai. Tercatat, seratus orang di Desa Kaliurip, Kecamatan Madukara, Kabupaten Banjarnegara, Jawa Tengah, tiba-tiba terjangkit skabies. Penderita terbanyak adalah anak-anak. Ironisnya, warga yang tertular itu tak secepatnya berobat. Akibatnya, wabah skabies ini semakin menyebar luas.
Skabies Pada Kukang
Kasus skabies pada kukang memang bukan kasus pertama yang pernah terjadi. Hal serupa juga pernah dialami oleh kukang serahan masyarakat kepada Pusat Rehabilitasi IAR Indonesia. Namun untuk si kukang jenglot, ini adalah kasus terparah dengan penyakit skabies.
“Terlihat kondisinya yang parah karena skabies pada si kukang sudah menjalar ke seluruh tubuh dan berbau tak sedap. Berat untuk bisa sembuh seperti sedia kala tapi untungnya ia bisa diselamatkan, dirawat dan diringankan deritanya. Hal ini sangat membahayakan, yaitu jika kondisi kukang yang seperti itu dan kemudian kukangnya dibuang ke alam liar, dapat menular ke hewan lainnya” jelas, drh IAR Indonesia, Wendi Prameswari
Skabies pada kukang tidak terjadi dengan sendirinya. Hal tersebut biasanya disebabkan oleh penularan dari hewan lain. Berdasarkan penelusuran informasi dari eks-pemelihara yang pernah menyerahkan kukang ke IAR Indonesia, kasus skabies yang ditemukan ternyata diakibatkan oleh pola pemeliharaan. Kukang yang dipelihara dikandangkan bersama dengan hewan lainnya yaitu kucing. Penularan ini sangat mungkin disebabkan oleh hewan peliharaan lainnya.
Penanganan skabies pada kukang memang tidak berbeda jauh dengan hewan peliharaan umumnya. Namun jika kondisi tersebut dibiarkan, tungau bisa menyebar keseluruh bagian kulit tubuh kukang dan menyebabkan infeksi parah sehingga lebih sulit untuk disembuhkan.
Lalu bagaimana si kukang jenglot bisa tertular skabies?
Menurut hasil pemeriksaan dokter hewan BKSDA Lampung, si kukang jenglot tidak hanya menderita skabies saja. Ia telah kehilangan giginya, dan juga luka lecet di bagian pantat. Dua indikasi luka tersebut merupakan ciri ciri yang sering ditemukan pada kukang yang dipelihara. Besar kemungkinan, si kukang dipelihara bersamaan dengan hewan lainnya yang terjangkit skabies, lalu dibuang atau dilepaskan.
Bahaya Lepasliar Kukang Dengan Zoonosis
Zoonosis merupakan penyakit yang ditularkan oleh hewan kepada manusia, ataupun sebaliknya. Pada kasus si kukang jenglot, penyakit zoonosis kemungkinan ditularkan dari hewan lain. Dengan kondisi tersebut, sangat riskan jika kukang yang terkena penyakit skabies dilepaskanliarkan begitu saja. Potensi penularan skabies bisa semakin meluas dan mewabah kepada kukang liar lainnya.
Potensi zoonosis tidak hanya terbatas pada penyakit skabies saja. Penyakit seperti hepatitis dan tubercolosis menjadi perhatian penting apabila kukang pernah berinteraksi dengan manusia (diperjualbelikan dan dipelihara). Terjangkitnya penyakit tersebut pada kukang, jelas akan membahayakan bagi komunitas kukang liar di alam.
Untuk mencegah penyebaran zoonosis, IAR Indonesia selaku pusat rehabilitasi satwa memberlakukan ketat standar kesehatan dan medis satwa. Kukang yang pertama kali masuk pusat rehabilitasi tidak bisa langsung ditempatkan bersama kukang lainnya. Ia akan di karantina terlebih dahulu untuk memastikan kondisinya sehat atau tidak memiliki penyakit yang berpotensi menular kepada kukang lainnya (termasuk kepada manusia).
Pemeriksaan medis secara menyeluruh akan dilakukan selama di karantina, hingga dapat dipastikan kukang sehat dan aman bagi kukang lainnya. Terkadang, untuk melengkapi hal tersebut dibutuhkan juga rekam jejak medis satwa, terutama pada kukang kukang eks-peliharaan. Perlakuan selama dipelihara bisa saja menjadi pemicu munculnya sebuah penyakit atau kondisi yang tidak biasa ditemukan pada kukang liar.
Data dan informasi terkait kesehatan, perlakuan selama dipelihara dan perilaku kukang yang dirasa unik selalu ditanyakan oleh Kukangku kepada pelapor yang ingin menyerahkan kukangnya ke IAR Indonesia. Catatan tersebut tentunya akan sangat membantu tim medis dalam menangani dan merawat si kukang untuk kedepannya.
Proses untuk mengembalikan kukang ke habitatnya menjadi sangat panjang jika standar kesehatan diberlakukan. Tapi semua ini memang perlu, karena tujuan melepasliarkan adalah menjaga keberlangsungan populasi di alam agar bisa tetap lestari, termasuk kesehatannya.
Penulis: Amalia Fadhillah
Editor: Kukangku