Dengan perawakannya yang imut dan lucu, bayi monyet atau biasa disebut dengan nama monpai (monyet pantai) kian marak diperdagangkan. Perdagangan daring monyet dilaporkan meningkat selama masa pandemi, terutama di kota-kota besar.
Dalam laporan IAR Indonesia, sebanyak 5.182 postingan di platform grup Facebook mengiklankan monyet untuk diperjualbelikan sepanjang tahun 2020. Perdagangannya tersebar di berbagai pulau Indonesia. Jawa menjadi wilayah terbesar dalam perdagangan monyet, diikuti oleh Sumatra dan Kalimantan.
Secara keseluruhan, Provinsi Jawa Barat, Jawa Timur dan DKI Jakarta menjadi pusat perdagangan monyet di Indonesia. Ratusan iklan jual beli dan peminat monyet juga terdata berasal dari ketiga wilayah ini.
Dalam forum jual beli, 92% monyet yang dijual merupakan bayi atau anakan. Bayi-bayi monyet tersebut dijual dengan harga bervariasi mulai dari tiga ratus ribu hingga dua juta rupiah. Umumnya, bayi monyet ini diperjualbelikan sebagai satwa peliharaan. Bayi monyet dianggap cukup lucu untuk menjadi teman main anak di rumah, ataupun teman main peliharaan lainnya, seperti kucing atau anjing.
Resiko dan bahaya memelihara monyet
Ironisnya, perdagangan bayi-bayi monyet rentan terhadap eksploitasi yang melanggar kesejahteraan satwa. Dokter hewan Jakarta Animal Aid Network, drh. Merry F Wain mengatakan kebanyakan perdagangan berawal dari kekejaman pada satwa.
“Contohnya perburuan. Induk monyet dibunuh sebelum anaknya diambil. Kemudian saat satwa ditransportasi kematiannya cukup tinggi, karena nutrisinya tidak terpenuhi dan berbagai macam unsur medis yang tidak dipenuhi,” ujarnya dalam webinar “Serba-Serbi Primata di Media Sosial”, pada 28 Januari 2021.
Menurutnya, kontribusi perdagangan satwa liar juga dapat berpengaruh terhadap kesehatan masyarakat, seperti adanya penularan penyakit antar spesies (zoonosis). Inilah yang menjadi salah satu ancaman untuk kesehatan masyarakat.
“Dari hasil penerimaan satwa monyet ekor panjang yang kami lakukan, dari 87 ekor satwa, sebanyak 12% menunjukkan reaksi positif terhadap mammalian old tuberculine. Hal ini terjadi karena mereka memiliki interaksi yang dekat, seperti tidur berdekatan dalam kandang,” kata Merry.
Siklus perdagangan monyet, lanjutnya, dapat dihentikan dengan edukasi pada masyarakat secara konsisten, serta penutupan pasar oleh pemerintah.
“Kita memiliki kewajiban moral untuk melindungi primata, karena mereka memiliki peran ekosistem di habitatnya. Misalnya, primata sebagai seed dispersal,” tuturnya.
Baca juga : Konten Youtube Pemelihara Monyet Meningkat Selama Pandemik
Pengaruh selebgram
Perdagangan bayi monyet ini diperkirakan semakin meningkat seiring banyaknya konten pemeliharaan di media sosial. Pengaruh dari influencer atau selebgram yang memamerkan video ataupun foto monyet peliharaan di media sosial diduga menjadi akar masalahnya.
Aksi pamer ini menimbulkan beragam reaksi dari netizen. Hampir kebanyakan reaksinya memperlihatkan ketertarikan atau minat untuk ikut memiliki bayi monyet. Tingginya minat masyarakat untuk memiliki monyet dapat meningkatkan perburuan dan perdagangan monyet. Hal ini mengancam kepunahan monyet di masa yang akan datang.
Minat yang tinggi dari masyarakat diduga terbentuk karena adanya faktor psikologis. Psikolog sosial, Puspita Insan Kamil menyatakan bahwa pemeliharaan monyet dipacu kebutuhan secara fungsional, yaitu sebagai teman dan kesenangan.
“Manusia menganggap peliharaan itu sebagai teman dan juga sebagai kesenangan. Dari kesenangan, manusia menggunakan satwa sebagai status ataupun secara fungsional. Banyak orang yang pelihara binatang untuk meningkatkan status sosialnya di mata masyarakat,” ujarnya.
Menurutnya, semenjak pandemi angka subjek monyet peliharaan meningkat karena mereka tidak bisa bertemu dengan teman-temannya. Masyarakat juga butuh konten untuk berkomunikasi di media sosial.
“Masa pandemik memaksa orang untuk tinggal di rumah sehingga kebutuhan sosialnya harus dipenuhi. Salah satu caranya dengan memelihara monyet dan memamerkannya di media sosial,” tuturnya.
Puspita menjelaskan bahwa memperlihatkan citra primata sebagai teman atau bayi juga mempengaruhi perspektif negatif masyarakat terhadap monyet.
“Karena hal ini dapat memberikan perspektif kepada manusia lain untuk memperlakukan satwa seperti itu. Seakan-akan hal itu lumrah. Pendekatan komunikasi yang baik perlu diberikan kepada masyarakat, khususnya kepada pemelihara primata agar tidak kembali memelihara,” jelasnya.
Baca juga : Bleaching Kukang: Fenomena Suram Di Balik Kejamnya Perdagangan Satwa
Tidak dilindungi bukan berarti bebas diperjualbelikan
Hingga saat ini, monyet ekor panjang atau monpai bukanlah jenis satwa yang dilindungi oleh aturan hukum Indonesia. Status ini seringkali disalahartikan sebagai izin diperjualbelikan dan dipelihara secara bebas. Meski begitu, monyet termasuk ke dalam apendiks 2, yang mana perdagangannya diatur khusus.
Pemanfaatan monyet memang diperbolehkan jika bersumber dari penangkaran yang mendapat izin resmi dari BKSDA. Sayangnya, kebanyakan monyet-monyet yang diperjualbelikan untuk dipelihara memiliki asal usul yang tidak jelas. Kelengkapan seperti dokumen angkut satwa pun tidak disertai. Sehingga dapat dipastikan bahwa monyet-monyet tersebut adalah ilegal, atau bahkan bersumber dari perburuan di alam.