Jeifil Esa (JA), oknum kader konservasi di Sumatra Barat (Sumbar) yang ketahuan memperdagangkan satwa liar divonis vonis tiga tahun enam bulan penjara dengan denda Rp 100 juta dan subsider enam bulan kurungan oleh Pengadilan Negeri Lubuk Basung, Agam, Sumbar. Ia dihukum setelah melakukan perdagangan kukang pada tahun lalu.
Keputusan sidang yang dipimpin oleh hakim ketua Ida Maryam Hasibuan tersebut merupakan vonis terberat untuk kasus perdagangan kukang atau ‘malu-malu’ (Nycticebus coucang) selama 2015 hingga 2018. Ada pesan besar yang disampaikan dari kasus ini, bahwa hukum tak boleh pandang bulu bahkan bagi seorang kader konservasi sekalipun.
Dalam sidang 15 Februari 2018 lalu, hakim mengungkapkan ada beberapa hal yang memberatkan terdakwa. Salah satunya adalah peran terdakwa sebagai aktivis lingkungan yang justru merusak lingkungan dengan melakukan praktik perdagangan satwa liar. Tak hanya itu, hakim juga melihat keterangan terdakwa yang berbelit-belit saat persidangan.
Jaksa Penuntut Umum (JPU) Rhendy Ahmad Fauzi menambahkan, satu lagi terdakwa yakni Harten Novrukas yang berperan sebagai pengangkut satwa dihukum tiga tahun penjara dengan denda Rp 100 juta dengan subsider enam bulan kurungan. Putusan yang dijatuhkan kepada Harten sesuai dengan tuntutan Jaksa.
“Hukuman bagi Harten sama dengan Jeifil,” ujar Rhendy saat dikonfirmasi, Kamis (22/2).
Ketua Yayasan International Animal Rescue Indonesia (YIARI), Tantyo Bangun, mengapresiasi proses penegakan hukum bagi kedua terdakwa perdagangan satwa liar tersebut. Ia memandang, keputusan sidang yang dijatuhkan menunjukkan pentingnya peningkatan efek jera dengan hukuman yang semakin berat bagi pelaku perdagangan satwa liar.
Tantyo juga melihat adanya komitmen dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) bahwa permasalah perlindungan satwa liar tidak memandang bulu. Siapapun, bahkan pencinta alam yang justru diharapkan menjadi pembawa pesan pelestarian akan ditindak.
Meski begitu, Tantyo merasa ada satu pekerjaan rumah yang masih tersisa. Baginya penegakan hukum tetaplah menjadi solusi akhir. Justru, lanjutnya, perbaikan di hulu seperti peningkatan perekonomian desa di sekitar hutan habitat satwa liar secara berkelanjutan harus berjalan. Tak hanya itu, penyadartahuan bagi masyarakat juga harus diupayakan.
“Anggapan bahwa memelihara satwa liar itu keren adalah salah besar dan menyesatkan. Jangan sampai berakhir di bui. Tempat terbaik satwa liar adalah di alam bebas,” ujar Tantyo.
Kasus Jeifil Esa bermula pada September 2017 lalu. Kasusnya disorot lantaran perdagangan satwa dilindungi justru dilakukan seorang aktivis lingkungan. Jeifil ditangkap bersama enam ekor kukang yang berhasil diamankan di Lubuk Basung. Jeifil sendiri terbilang aktif di media sosial, baik memamerkan kegiatannya sebagai kader konservasi maupun perdagangan satwa yang dilindingi. Oknum kader konservasi ini melalui akun media sosialnya sempat memamerkan foto keterlibatannya dalam kegiatan konservasi.
Tak hanya itu, melalui akun Facebook miliknya, Jeifil juga menjalankan ‘promosi’ kukang yang saat itu diduga ia perdagangkan. Dari jejak aktivitas perdagangan di media sosial inilah kemudian tim dari KLHK mulai aktif menyelidiki dugaan praktik perdagangan kukang yang dilakukan Jeifil.
Yayasan International Animal Rescue Indonesia (YIARI) mencatat sejumlah temuan mencengangkan terkait aktivitas perdagangan kukang di Indonesia. Berdasarkan kajian yang dilakukan, terlacak ada lebih dari 50 grup jual beli kukang yang tersebar di media sosial. Sebanyak 1.070 akun penjual kukang juga ditemukan di beberapa platform media sosial. Sebagian besar penjual kukang berdomisili di Jawa Barat. Ironisnya, satwa langka tersebut dijual di pasaran dengan harga rata-rata ‘hanya’ Rp 400 ribu per individu.
Catatan lainnya, terdapat 2.094 individu kukang yang diambil paksa dari habitatnya selama tahun 2016 hingga 2017. Sementara jumlah kerugian negara akibat perdagangan kukang dan biaya rehabilitasinya memakan dana Rp 59 miliar, selama 2016-2017.
Masyarakat diminta lebih peka terhadap aktivitas perdagangan satwa liar ini. Berdasarkan UU nomor 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, pelaku perdagangan satwa liar diancam pidana paling lama 5 tahun kurungan dan denda maksimal Rp 100 juta.
“Setiap orang dilarang untuk menangkap, melukai, membunuh, menyimpan, memiliki, memelihara, mengangkut, dan memperniagakan satwa yang dilindungi dalam keadaan hidup atau mati,” demikian bunyi beleid tersebut.
Sumber berita : nasional.republika.co.id