Keberadaan primata endemik kukang jawa (Nycticebus javanicus) sedang naik daun. Akhir – akhir ini, primata berjuluk si malu – malu sedang getol- getolnya dilakukan pelepasliaran sebagai salah satu langkah penyelamatan dari kepunahan.
Balai Besar Sumber Daya Alam (BBKSDA) Jawa Barat bekerjasama dengan Inisiasi Alam Rehabilitasi (IAR) Indonesia melepasliarkan 30 ekor kukang di kawasan Taman Nasional Gunung Ciremai (TNGC) di Blok Bintangot, Desa Seda, Kecamatan Mandirancan, Kabupaten Kuningan, Jabar, Kamis (11/5/2017).
Nasib Javan Slow Loris tidak jauh berbeda dengan primata endemik lainnya seperti owa jawa, lutung jawa dan surili yang masuk kategori 25 primata diambang kepunahan versi IUCN sebuah organisasi konservasi internasional.
Pemerintah harus segera berbenah dengan meningkatnya potensi perburuan, perdagangan dan perusakan habitat satwa belakangan ini. Tren berbahaya itu juga selayaknya menjadi alarm sekaligus cerminan bagi kekayaan kenanekaragaman hayati di Indonesia yang cenderung memiliki laporan buruk.
Menurut data IAR, dalam 2 tahun terakhir–sekitar 1500 ekor kukang jawa “diambil paksa” dari abitatnya akibat masifnya aktivitas perburuan dan perdagangan. Kukang di pasaran dijual dengan harga Rp350 ribu – Rp500 ribu. Bahkan, nilai perdagangan ilegal inipun cukup tinggi, yakni mencapai Rp500 juta per tahun. Keadaan tersebut bisa menjadi gambaran tentang populasi satwa endemik yang mengalami penurunan drastis.
Manager IAR Indonesia, Widi Nugroho, menyebutkan upaya rehabilitasi tidak semudah melakukan perburuan dan perdagangan. Pihaknya banyak mengalami berbagai kendala antara lain lamanya proses penangkapan, penyerahan satwa hidup untuk sampai pada upaya rehabilitasi.
Widi menerangkan lamanya kukang jawa di pusat rehabilitasi pun tidak baik. Sehingga resiko dan biaya akan semakin tinggi. Maka, diharapkan adanya trobosan baru dari intansi terkait terutama dalam proses peradilan agar memberi sanksi pidana dan perdata yang tinggi, sehingga pemburu dan pedagang satwa dilindungi jera, dan satwa yang dilepasliarkan aman dari perburuan.
Penangkapan
Kapolres Majalengka melalui Kasat Reskrim, AKP Rina Perwitasari mengatakan, pihaknya telah melakukan penangkapan pada 21 Januari 2017 lalu terkait adanya indikasi aktivitas perburuan dan perdagangan satwa dilindungi negara di Desa Buah Kapas, Kecamatan Sindangwangi, Kabupaten Majalengka. Ketika dilakukan penggerebekan di rumah pelaku, ditemukan satwa berbola mata besar tersebut telah siap untuk dikirim ke Jakarta.
“Kami mengamankan barang bukti, 8 ekor kukang jawa, 2 keranjang buah, senter dan handpone. Dari keterangan pelaku, sudah menjual 20 ekor kukang jawa. Menurut pelaku, kukang dijual dengan harga Rp100 ribu per ekor. Dijual melalui online,” ujarnya.
Dari bukti yang ada, kata Rina, pelaku terancam pidana paling lama lima tahun dan denda paling banyak Rp5 miliar, karena melanggar pasal 21 ayat 2 huruf a Jo pasal 40 ayat 2, Undang-undang nomor 5 tahun 1990 tentang konservasi sumberdaya alam hayati dan ekosistem, Jo Peraturan Pemerintah nomor 7 tahun 1999 tentang pengawetan jenis tumbuhan dan satwa.
Dia menambahkan kasus ini berkasnya sudah lengkap (P21) dan telah dilimpahkan ke kejaksaan untuk diajukan ke pengadilan.
Ditempat yang sama, Pelaksana Tugas Direktur Jendral Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem Kementerian Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Bambang Hendroyono, mengatakan keberadaan satwa dilindungi sudah semestinya dikembalikan lagi ke alam.
Dia menargetkan, akan membangun perpaduan antara fungsi ekologis, sosial dan produksi di wilayah konservasi termasuk ekosistem di TNGC. Dia juga mengharapkan kegitan semacam ini bisa terus dilakukan di seluruh kawasan konservasi di Indonesia.
“Potensi satwa liar harus dipertahankan. Karena pada umumnya habitat yang ada telah rusak. Disamping itu, perburuan dan perdagangan satwa masih jadi ancaman kepunahan. Dari KSDAE bersepakat untuk menggalakan pelepasliaran satwa dilindungi kembali ke alam sebagai bagian dari pelestarian,” katanya.
Disinggung mengenai desakan revisi UU Nomor 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, dia menegaskan rencana itu telah diwacanakan dan masuk pada program KLHK 2015 – 2019 yang akan dilakukan perubahan.
Seperti diketahui, payung hukum tentang konservasi tersebut telah ada selama 27 tahun. Namun, selama itupula perlindungan terhadap keanekaragaman hayati dinilai oleh penggiat lingkungan kurang memberikan perlindungan secara menyeluruh. Sehingga kehadiran supremasi hukum yang kuat menjadi penting dalam perlindungan pada satwa terancam punah agar timbul efek jera bagi setiap pelanggar.
Dia menerangkan, revisi UU No.5/1990 itu telah masuk Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2017 dan saat ini Komisi IV DPR telah memiliki prakarsa untuk menyusun draf dan sedang dalam tahap mengumpulkan inventarisasi masalah. Pada perubahannya nanti, tetap tidak menghilangkan prinsip – prinsip konservasi dan pelestarian satwa dihabitat alaminya.
“Poin penting dalam perubahan UU tersebut adalah merubah pasal – pasal penegakan hukum terkait pengenaan sanksi pidana lebih berat dan dendanya bisa 2 atau 3 kali lipat. Jadi ada penyempurnaan pasal – pasal yang belum ada sehingga bisa timbul efek jera sesuai yang diharapkan. Kami targetkan akhir tahun ini bisa beres,” kata dia menambahkan.
Kepala BBKSDA Jawa Barat, Sustyo Iriyono mengatakan, dalam upaya menekan pola distribusi satwa dilindungi–pihaknya telah membentuk tim gugus tugas yang diintruksikan untuk menyelidiki serta penyitaan bagi siapa saja yang memelihara.
“Sampai bulan ini, kami berhasil mengamankan 146 ekor satwa dilindungi. Jumlah tersebut hasil dari penyerahan masyarakat, proses hukum dan sosialisasi yang dilakukan. Kami meyakini semua orang mengetahui terkait UU Nomor 5, termasuk orang di desa pun tahu. Jadi jangan ngeles. Siklus perburuan dan perdagangan ini harus segera mungkin diminimalisir,” paparnya kepada wartawan.
Kepedulian
Sementara itu, Edod (51) warga setempat, mengaku senang dengan kembalinya kukang ke hutan di kaki Gunung Ciremai. Sebagai warga yang mengelola 400 pohon cengkeh di wilayah hutan rakyat, dia berharap dapat hidup berdampingan tanpa saling merugikan.
“Masyarakat disini menganggap bahwa kukang adalah hewan sial. Mungkin karena kukang ini selalu tidur ketika siang hari jadi dianggap pemalas. Tetapi setelah saya tahu kukang ini memiliki peran sebagai pengatur hama serangga. Jadi saya mulai peduli dan sangat membatu petani,” kata dia seusai pelepasanliaran kukang.
Hal senada juga dikatakan Dedi (36) masyarakat mitra TNGC. Menurut dia, keberadaan satwa di alam liar menjadi indikator keseimbangan lingkungan. Dia menceritakan, dulunya kawasan TNGC merupakan lahan milik Perhutani sebelum dijadikan sebagai kawasan konservasi. Program Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM) digulirkan, namun karena tidak diimbangi dengan kontrol dan edukasi kepada masyarakat. Alhasil hampir sebagian kawasan hutan dirambah untuk dijadikan lahan pertanian pada tahun 1990-an.
“Sehingga waktu itu sempat kekurangan pasokan air dan saya merasakan juga. Sekarang pelepasliaran satwa di Ciremai tidak hanya kukang. Sebelumnya juga ada elang jawa dan mencek (kancil). Saya percaya bahwa satwa tersebut menempati posisi di alam. Menurut saya, keutuhan alam itu penting demi ketersedian air terus ada dan ujung – ujungnya keuntungan busa dirasakan masyarakat sendiri,” ucapnya.
Sumber berita : mongabay.co.id