Pelihara monyet ekor panjang atau monpai mendadak popular di tengah masyarakat Indonesia. Tren ini kian booming semenjak influencer memamerkan konten monyet peliharaannya di media sosial, salah satunya Instagram.
Bayi monyet merupakan jenis usia yang paling banyak dijadikan konten. Tampangnya yang lucu dan perawakannya yang mirip-mirip bayi manusia disinyalir menjadi alasan kenapa monyet-monyet ini digandrungi.
Selain imut, bayi monyet juga anteng sehingga lebih mudah dijadikan model untuk konten. Berbeda dengan monyet yang sudah remaja atau dewasa, selain suka bikin keributan mereka terkenal juga agresif dan sering menyerang manusia.
Gilanya, bayi-bayi monyet diperlakukan layaknya manusia. Mereka digendong, diajak bicara, diberi popok, diberi baju, dibawa di kereta bayi hingga minum dari dot imut.
Angka konten meningkat
Fenomena konten pelihara monyet ini sudah ditemukan sejak lama. Namun, angka konten ini meningkat signifikan semenjak awal pandemi di tahun 2020. Menurut data yang dikumpulkan oleh Kukangku, angka kiriman konten pelihara monyet di instagram meningkat 9 kali lipat di 3 tahun terakhir.
Tercatat sebanyak 179 konten pemeliharaan ditemukan pada tahun 2019, meningkat ke 876 di tahun 2020 dan melesat ke angka 1,600 di tahun 2021.
Peningkatan ini juga terlihat dari meningkatnya angka akun Instagram berisi konten monyet. Terdata sebanyak 45 akun aktif di tahun 2019, meningkat ke 178 akun di 2020 dan 275 akun di 2021.
Tingginya konten pemeliharaan monyet menandakan semakin banyaknya orang yang memelihara monyet. Hal ini didukung data perdagangan monyet yang makin marak di tahun 2020 – 2021. Tercatat, sebanyak 6,258 monyet diperjualbelikan di Indonesia. 92% monyet yang dijual adalah bayi dan anakan.
Sementara, peminatnya ikut meningkat sebanyak 35%, dengan 1,004 peminat di tahun 2020 dan 1,265 di tahun 2021.
Baca juga : 5.182 Monyet Diperdagangkan Secara Ilegal Sepanjang 2020
Dipengaruhi influencer
Kenaikan angka ini disinyalir dipengaruhi oleh beberapa faktor. Salah satunya dari pengaruh influencer. Maraknya influencer yang flexing atau pamer peliharaan monyet di Instagram dinilai memicu keinginan masyarakat untuk ikut-ikutan memelihara.
Ternyata hal ini dapat dijelaskan dari sisi psikologis manusia. Seperti yang disampaikan oleh Psikolog sosial, Puspita Insan Kamil, umumnya manusia memiliki kecenderungan untuk mengikuti tren dari idola atau panutannya. Tujuannya, agar mereka diterima sebagai bagian dari kelompok.
“Jadi saat idola atau panutanmu yang kamu anggap tinggi dan berarti untuk identitas sosialmu, kamu akan mengikuti jejaknya untuk merasa diterima di kelompokmu,” ujarnya dalam tweet di akun twitter pribadinya @PuspitaKamil
Namun, ada juga alasan lainnya, seperti faktor kesepian yang umum ditemukan pada individu di masa pandemi. Menurut Puspita, rasa kesepian itu mendorong orang untuk memiliki hewan peliharaan.
“Masa pandemi memaksa orang untuk tinggal di rumah sehingga kebutuhan sosialnya harus dipenuhi. Salah satu caranya dengan memelihara monyet dan memamerkannya di media sosial,” tuturnya.
Padahal, memperlihatkan citra primata sebagai teman atau bayi juga mempengaruhi perspektif negatif masyarakat terhadap monyet.
“Karena hal ini dapat memberikan perspektif kepada manusia lain untuk memperlakukan satwa seperti itu. Seakan-akan hal itu lumrah. Pendekatan komunikasi yang baik perlu diberikan kepada masyarakat, khususnya kepada pemelihara primata agar tidak kembali memelihara,” jelasnya.
Baca juga : Konten Youtube Pemelihara Monyet Meningkat Selama Pandemik
Perlu adanya regulasi
Sekedar info saja, ada banyak jenis monyet di Indonesia. Salah satu jenisnya yaitu monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) – atau kadang disebut monyet pantai – merupakan jenis yang paling banyak dipelihara. Posisi kedua ditempati jenis beruk (Macaca nemestrina). Keduanya kerap ditemukan diburu dan diperdagangkan sebagai satwa peliharaan.
Monyet ekor panjang bukan satwa dilindungi dan kepemilikan monyet ini tidak diatur perundang-undangan. Tapi penangkapan dari kawasan hutan harus memperhatikan kuota dan seizin Balai Konservasi Sumber Daya Alam sesuai Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan.
Melihat kasus pemeliharaan yang kian meningkat, sudah seharusnya ada sebuah peraturan khusus mengenai tata cara kepemilikan monyet. Utamanya harus memenuhi kesejahteraan satwa, tujuan pemanfaatan, serta sumber satwa yang jelas asal usulnya.
Selain itu, pengawasan dan penindakan terhadap perburuan dan perdagangan monyet secara bebas harus ditingkatkan. Karena, hampir semua monyet yang diperdagangkan untuk peliharaan berasal dari alam liar dan bukan hasil penangkaran. Bukan tidak mungkin, jika hal ini dibiarkan maka populasi di alam akan semakin terancam.
Meski begitu, menjadikan monyet sebagai hewan peliharaan bukanlah pilihan bijak. Pemenuhan kesejahteraan satwa bagi monyet seringkali diabaikan oleh si pemelihara. Selain itu, resiko dan kerugian bisa terjadi pada individu monyet dewasa yang membuas, atau membawa suatu penyakit yang rentan menular.
Hakikatnya, satwa liar seperti monyet memiliki peran penting bagi alam. Dan peran ini menjadi tidak berguna ketika fungsi mereka dieksploitasi hanya demi kesenangan manusia di rumah dan demi konten semata.
Dukungan masyarakat
Di tahun 2022 ini, sudah cukup banyak masyarakat yang mulai sadar untuk tidak ikut-ikutan memelihara monyet. Hal ini dapat terlihat dari komentar-komentar terkait pemeliharaan monyet di media sosial.
Sejumlah netizen mengeluarkan pendapat mereka pada pemeliharaan monyet. Terutama soal kekejaman pada proses perdagangan monyet dan dampak negatif dari memelihara monyet.
“Melihara karena buat lucu ama gemes doang buat apa? Biar ikut2 an tren bodoh? Bagi gue itu ga gemes, melihara bayi hewan apalagi hewan langka dan kita pelihara bukan di habitatnya ya sama aja dengan nyiksa hewan itu sendiri,” tulis akun @jodohchittapon.
“Yg paling menjengkelkan itu ya poop nya dan pipisnya itu, monyet itu primata, tapi kebiasaan buang airnya kayak ayam atau burung, di mana dia mau poop ya poop di situ, biarpun lagi main atau lagi manjat2, tiba tiba aja keluar poop. Belum lagi anak monyet itu harus perlu perhatian, kalau kita nggak perhatikan dia atau biarkan dia di kandang, siap siap kuping karna mereka bakal terus teriak teriak,” tulis akun Rachmad Khoirrul
Dari petisi yang digagas oleh Rheza Maulana dan Koalisi Perlindungan Hewan Indonesia di Change.org (dukung petisi Instagram, Larang Penyebaran Foto Eksploitasi Bayi Primata, Dong! #BayiMonyetBukanKonten), sebanyak 1.741 orang telah memberikan dukungannya. Jumlah ini jika dibandingkan dengan akun-akun yang memamerkan peliharaan monyet jelas menunjukan bahwa masyarakat yang peduli terhadap monyet jauh lebih besar.
Kukangku menilai, dukungan dari masyarakat ini merupakan pintu awal bagi masyarakat lain untuk tidak ikut-ikutan pelihara monyet. Tentunya dengan semakin banyaknya orang yang sadar pada hak hidup monyet, angka perburuan dan pemeliharaan monyet dapat terus ditekan.
Stop Pelihara Monyet!
#EndTheTrend #EndTheTrade