Hewan kecil berbulu lembut ini tampak malu-malu. Matanya mengerjap-ngerjap dari balik kandang yang dipenuhi dedaunan. Namun, ada pula yang terlihat lincah meliuk-liuk di antara pepohonan.
Satwa mungil berukuran 20-30 sentimeter (cm) ini memang kerap dijuluki hewan “malu-malu”. Kondisinya bisa lain cerita saat malam hari. Satwa nan menggemaskan tersebut adalah kukang, salah satu primata langka yang dilindungi pemerintah. Kukang memang jenis satwa yang aktif pada malam hari dan tidur pulas saat fajar menyingsing.
Kukang-kukang itu tengah menjalani rehabilitasi, di salah satu Pusat Penyelamatan dan Rehabilitasi Satwa yang dimiliki Internasional Animal Rescue (IAR) Indonesia di Curug Nangka, Ciapus, Kabupaten Bogor. Manajer Operasional IAR, Aris Hidayat mengatakan, kukang tergolong hewan yang malu-malu. IAR, lembaga nirlaba ini menerima satwa primata, baik dari masyarakat, lembaga konservasi, maupun aparat kepolisian. Seperti beberapa waktu lalu, IAR menerima kukang sitaan Polisi Daerah (Polda) Jawa Barat dari pemburu dan pengepul yang ada di wilayah Kota dan Kabupaten Bandung Barat.
Aris mengatakan, umumnya kukang yang diterima IAR dalam kondisi mengenaskan. Dari bulu-bulu atau gigi yang rontok, kurus, kusam, pucat, hingga cacingan. Menurut Aris, sering kali dari golongan masyarakat memberikan kukang dalam kondisi sangat mengkhawatirkan. Begitu juga, dari sitaan polisi. Menurut dia, hal itu tidak terlepas dari salah urus ataupun kukang yang diperlakukan semena-mena.
“Seperti oleh penjual itu ditaruh di satu kandang dengan kecil sampai 10 kukang, ada juga yang disimpan di paralon, intinya packing-nya buruk. Sementara masyarakat banyak yang tidak tahu cara mengurus, tiga sampai enam pekan saja kukang mati,” kata Aris kepada Republika, belum lama ini.
IAR melakukan proses penyelamatan, perawatan hingga pelepasliaran. Lamanya proses rehabilitasi atau perawatan juga tergantung individu kukang. Kukang akan menjalani masa karantina, tes medis kesehatan dalam kurun dua sampai tiga pekan. Kecuali, kukang dengan kondisi sakit, ada proses penyembuhan tambahan.
Salah satu yang diperhatikan selain kesehatan, yaitu pengembalian aspek perilaku liar kukang. Untuk mengembalikan sifat liar ini tidak cukup mudah. Apalagi, mengingat psikologi kukang yang kebanyakan mengalami tekanan saat diterima petugas. Caranya, tim IAR, khususnya paramedis membiasakan kukang hidup sesuai ekologi alias interaksi dengan lingkungan di sekitarnya. Bagaimana kukang beradaptasi, ataupun mengenali alam hingga makanan di sekitarnya dibuat seperti alam bebas.
Setelah pemeriksaan kesehatan dan perilaku, barulah Kukang menjalani proses pelepasliaran ke alam bebas. Belum lama ini, tim IAR juga melepas empat kukang di Hutan Ciamis, Jawa Barat. Tim biasanya masih mengawasi pergerakan satwa melalui pemasangan alat radio transmitter di leher kukang. Dengan alat bantu ini, petugas akan lebih mudah bertemu kukang untuk melihat kondisinya.
Aris menjelaskan, idealnya proses pengawasan harus melewati dua musim, kemarau dan hujan selama kurun satu tahun. Namun, pemantauan juga bisa lebih cepat, tergantung perkembangan kukang agar benar-benar dinilai sudah bisa dilepas bebas di alam liar.
Masa habituasi merupakan proses penyesuaian diri satwa. Pada masa ini, satwa dipantau apakah bisa menyesuaikan diri, baik mengenal pakan, serangga, maupun kondisi lingkungan. Selama habituasi, observasi perilaku biasanya dilakukan sekitar minimal dua pekan.
Tak sembarang hutan yang bisa dijadikan tempat pelepasliaran. Sesuai standar operasional prosedur (SOP), ada beberapa kriteria kelayakan hutan. Setiap jenis kukang juga harus dikembalikan ke alam asalnya. Seperti halnya kukang Sumatra, harus dilepasliarkan di Sumatra, pun kukang Jawa dan kukang Kalimantan.
“Ada tiga kukang di Indonesia, yakni jenis kukang Jawa, Sumatra, dan Kalimantan. Kami lakukan survei kelayakan hutan. Setelah dilepaskan, ada pula masa habituasi,” ujar Aris.
Dia mengatakan, yang perlu diperhatikan dari lokasi pelepasliaran ialah mengenai ketinggian, yaitu minimal 700 sampai 1.200 meter di atas permukaan laut (mdpl). Sampai saat ini, IAR menangani 185 kukang. Sejak 2008, IAR telah menyelamatkan tak kurang dari 500-an kukang. Sayangnya, dari jumlah tersebut 80 persen di antaranya tidak memungkinkan dilepasliarkan. “Kalau kondisi kukang 50 persen bagus, bisa dilepaskan. Sebaliknya, sulit dilepas karena tidak akan bisa hidup di alam liar,” kata dia.
Tidak ada perbedaan signifikan antara perawatan kukang jantan dan betina. Menurut salah satu dokter hewan di IAR, Merry Chrisan Atria Hutahaean, kondisi kukang saat masuk pusat rehabilitasi biasanya sangat buruk. Tak sedikit pula yang terkena peluru atau senapan angin. “Saya perkirakan ada delapan ekor kena peluru, ada yang di kepala dan ada yang di punggung. Beberapa ada yang sudah bisa dikeluarkan pelurunya, yang lain masih menunggu karena risiko lebih besar mengenai organ,” kata Merry.
Selama direhabilitasi, kukang diberi asupan gizi yang cukup. Tim medis melakukan pengecekan apakah sensor satwa dalam mencari, mencium makanan, dan beradaptasi dengan lingkungan sudah bagus atau belum.
Kukang juga memiliki keunikan tersendiri. Berbulu lembut, tak heran banyak yang penasaran memelihara si satwa malu-malu. Menurut Merry, jika dipegang bagian leher dan tangannya maka tangan kukang langsung refleks menyentuh kepalanya sendiri. Tak jarang, kukang juga refleks mengeluarkan racun saat merasa terancam. Racun ini bisa berbahaya bagi manusia. Namun, tingkat bahayanya juga dipengaruhi kekebalan tubuh manusia. Akibat racun, tubuh manusia bisa menimbulkan reaksi penyakit demam, mimisan, hingga akibat terfatal, meninggal dunia.
Sumber berita : republika.co.id