Malam itu, Rabu [27/02/2019], tim pemantau International Animal Resuce [IAR] Indonesia bersama Kepala Resort Pemerihan dan Masyarakat Mitra Polhut [MMP] Balai Besar TNBBS, mencari Alby. Berbeda dengan malam-malam sebelumnya, kali ini ia tidak hanya dipantau tapi ditangkap, untuk diperiksa kesehatannya. Sekaligus melepaskan radio collar yang melingkar di lehernya.
“Sah, dinyatakan lulus adaptasi,” ujar Firman Taufik, paramedis IAR Indonesia. “Alby dalam kondisi prima dengan berat badan dan suhu tubuh normal,” tambahnya.
Alby merupakan kukang sumatera [Nycticebus coucang] albino yang menjadi korban perdagangan gelap di Lampung, Agustus 2018. Saat itu, tim gabungan Balai Konservasi Sumber Daya Alam [BKSDA] Seksi Wilayah III Bandar Lampung menyelamatkannya dari seorang remaja berinisial NA di Desa Kecapi, Kalianda, Lampung Selatan, Lampung, yang hendak memperdagangkannya melalui Facebook.
Robithotul Huda, Manajer Program IAR Indonesia mengungkapkan, ‘lahirnya’ Alby sebagai kukang liar merupakan kabar gembira upaya konservasi. Terlebih, individu ini tergolong unik dan langka.
“Dari hasil pengamatan tim, Alby memenuhi indikator kemampuan bertahan hidup di alam. Hal itu ditunjukan dengan perilakunya yang sangat bagus. Pascapelepasliarannya, ia nampak gesit dan aktif. Kini ia benar-benar hidup tanpa pantauan,” ungkapnya.
Huda menuturkan, pelepasan radio collar menjadi tanda berakhirnya proses pengamatan pada Alby. Namun, untuk mencapai tahap ini bukan pekerjaan mudah, butuhkan waktu dan proses panjang. Setiap malam, tim lapangan mengamati gerak-gerik Alby.
“Tim mencatat perkembangan dan daya jelajah primata nokturnal itu. Hasilnya, ia sudah memiliki wilayah pergerakan yang stabil dan pintar memanfaatkan pakan alami. Alby juga terpantau bersosialisasi dengan kukang liar,” jelasnya.
Bertahan hidupnya Alby merupakan indikator keberhasilan pelepasliaran kukang di TNBBS. Menurut Huda, taman nasional yang menjadi salah satu situs warisan dunia ini merupakan kawasan konservasi ideal berdasarkan survei dan penilaian habitat yang telah dilakukan.
“Sejak 2017, termasuk Alby, 32 individu kukang sumatera yang menjadi korban perdagangan dan peliharaan ilegal sudah dilepasliarkan di TNBBS untuk mendapatkan kehidupannya kembali,” tambahnya.
Huda berharap riset mengenai kukang semakin banyak, khususnya kukang albino di alam. “Banyak aspek yang dapat ditelaah secara ilmiah. Mulai dari ekologi, biologi, perilaku sosial, hingga tingkat ketahanan hidup di alam,” tuturnya.
Kelainan genetik
Peneliti dari Pusat Penelitian Biologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia [LIPI] Wirdateti, kepada Mongabay Indonesia sebelumnya mengatakan, meski memiliki kemungkinan kecil, kelainan genetik seperti yang dialami Alby bisa terjadi pada mamalia jenis apapun, termasuk reptil dan burung [aves].
Menurutnya, albino merupakan kelainan genetik yang menyebabkan produksi pigmen melanin di kulit, rambut dan mata berkurang, bahkan, sama sekali tidak diproduksi. “Karena itu, yang didapati pada kulit dan rambut kukang sumatera tersebut menjadi putih karena pigmen melanin tidak diproduksi,” terangnya.
Ia melanjutkan, albino diturunkan secara genetik dari salah satu induk. Meskipun induk tidak albino, tetapi gen resesif yang tidak muncul pada induk, dapat diturunkan kepada anak atau dari tetuanya. “Kasus albino kukang ini murni kelainan genetik, gen pembawa dari induk betina atau jantan mengalami mutasi. Kelainan tersebut menyebabkan warna kulit, rambut dan bulu memiliki warna pucat atau putih,” terangnya.
Dilindungi tapi diburu
Kukang [Nycticebus sp], dikenal juga dengan nama lokal malu-malu, merupakan primata dilindungi UU No. 5 tahun 1990 dan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI Nomor P.106/MENLHK/SETJEN/KUM.1/12/2018 tentang Jenis Tumbuhan dan Satwa Dilindungi. Dalam peraturan internasional, kukang juga dilindungi dalam kategori Apendiks 1 oleh Convention International on Trade of Endangered Species [CITES] yang artinya dilarang dalam segala bentuk perdagangan internasional.
Di Indonesia terdapat tiga jenis kukang yaitu kukang jawa [Nycticebus javanicus], kukang sumatera [Nycticebus coucang] dan kukang kalimantan [Nycticebus menagensis]. Berdasarkan data International Union for Conservation of Nature (IUCN) Red List, kukang jawa masuk kategori Kritis atau satu langkah menuju kepunahan di alam. Untuk kukang sumatera dan kukang kalimantan berstatus Rentan atau tiga langkah menuju kepunahan di alam liar.
Selain kerusakan habitat, faktor yang paling berpengaruh terhadap penurunan populasi kukang di alam adalah perburuan dan perdagangan. Perdagangan untuk dijadikan satwa peliharaan ikut mendorong laju kepunahan, yang sekitar 30 persen kukang hasil perburuan mati dalam proses transaksi. Penyebabnya, stres, dehidrasi, malnutrisi, hingga terluka akibat transportasi yang buruk. Saat berada di pedagang, kukang kembali mengalami penderitaan akibat gigi taringnya dicabut.
Berdasarkan laporan IAR, sepanjang 2016-2017, tidak kurang dari 2.900 individu kukang diambil dari alam dan diperdagangkan lebih dari 1.000 akun penjual dan 50 grup jual beli hewan di Facebook. Rata-rata kukang dijual seharga Rp400.000. Sementara jumlah kerugian negara akibat perdagangan dan biaya rehabilitasi mencapai Rp59 miliar dalam waktu yang sama.
Sumber berita : Mongabay.co.id