Sepasang mata lebar, hidung bulat, serta bulu yang lebat membuat kukang jawa menjadi hewan yang terlihat menggemaskan. Namun, siapa sangka bila di balik wajah manisnya itu, kukang adalah satu-satunya primata berbisa di dunia.
Makhluk ini mengeluarkan racun dari air liur mereka serta kelenjar yang keluar pada bagian dalam lengan. Perpaduan kedua racun itu tentu cukup akan mematikan.
Meski begitu, bukan berarti mereka bisa lepas dari segala ancaman. Sebab, fakta lainnya adalah kukang bertubuh kecil serta bergerak lambat sehingga mereka mudah mendapatkan serangan.
Hal ini pun membuat mereka harus menunjukkan kegarangan tanpa benar-benar terlibat dalam duel. Caranya adalah melalui warna pada wajah mereka.
“Banyak hewan melakukannya. Mereka menggunakan warna untuk menandakan seberapa kuat atau dominannya mereka,” kata Anna Nekaris, ahli biologi konservasi dari Oxford Brookes University di Inggris.
Mekanisme ini disebut dengan warna aposematic atau warna peringatan. Beberapa hewan lain yang juga menggunakannya adalah sigung, musang dan kepik.
Kesimpulan tersebut berdasarkan bukti penelitian yang sudah dikumpulkan selama delapan tahun. Penelitian yang telah diterbitkan dalam jurnal Toxins ini dilakukan dengan cara menangkap kemudian melepaskan kembali 200 binatang untuk menunjukkan bahwa warna motif di muka Kukang Jawa memang merupakan warna aposematic.
Menurut peneliti, tanda peringatan itu terlihat pada bagian mulut, yang mengacu sebagai tempat yang paling berbahaya. Tanda peringatan tersebut akan dikenali oleh mahluk lain termasuk predator Kukang Jawa seperti elang dan ular sanca.
“Kukang ibarat bola kematian yang imut dan berbulu,” kata Nekaris.
Kukang Jawa sendiri hidup berpasangan dan menjaga wilayah hutan seukuran lapangan sepakbola. Sayangnya, sangat sedikit habitat yang tersisa di pulau Jawa karena pertanian dan penggundulan hutan.
Pasangan kukang bisa tinggal di tempat yang sama hingga delapan tahun. Ini berarti ketika kukang muda menyerang, mereka harus memperjuangkan wilayah mereka.
Kukang dewasa versus kukang muda
Nekaris dan tim peneliti juga menemukan bahwa kukang yang lebih muda ternyata lebih agresif dibandingkan yang lebih tua. Nekaris melihat perbedaan antara generasi kukang yang sudah dewasa (berumur lebih dua tahun) yang akan tenang setelah ditangkap. Sementara itu, kukang muda akan lebih bertenaga.
“Kukang muda akan benar-benar mencoba membunuhmu. Mereka sangat kuat, menjerit dan mengumpulkan ludah di mulut mereka,” kata Nekaris.
Kadang hewan memang melakukan perlawanan seperti itu. Namun, studi yang panjang juga menyebut bahwa hal tersebut terjadi karena kukang muda juga melalui fase Terrible Twos, di mana kukang muda cenderung menjadi agresif.
Menariknya peneliti juga menemukan hubungan lain antara agresivitas dengan warna aposematic pada wajah kukang. Nah, studi menunjukkan jika kukang muda memiliki motif yang lebih kontras pada wajah mereka. Hipotesisnya, makin jelas warna tersebut, maka makin tinggi juga tingkat agresifitas mereka.
Itulah mengapa Ted Stankowich, ahli ekologi perilaku evolusioner di California State University, Long Beach berharap para peneliti dapat mengukur toksisitas pada kukang untuk melihat apakah kadar racun mereka lebih banyak ketika masih muda. Hal ini bertujuan untuk mencocokan tingkat agresivitas mereka dengan warna yang kontras.
Sebab, sangat mengherankan bahwa warna tersebut bisa berubah seiring dengan bertambahnya usia hewan. Hal ini tidak terjadi pada hewan lainnya.
“Sigung dilahirkan dengan garis-garis putih yang akan mereka miliki seumur hidup, dan saya pikir ini juga berlaku untuk hewan yang lain juga,” katanya.
Meski begitu, ada teori mengapa kukang muda lebih agresif dan memiliki motif lebih kontras pada muka. Itu bisa jadi bentuk mekanisme karena mereka masih kecil, lebih mudah ditangkap, atau karena mereka lebih rentan ketika mulai mencari wilayah baru.
Selain itu juga, peneliti menemukan bahwa motif aposematic mungkin memiliki tujuan tidak hanya untuk menakuti predator lain.
“Biasanya motif aposematic untuk menakuti predator, tapi pada kukang juga digunakan untuk spesies sejenisnya,” tambah Ted.
Evolusi memang jarang memiliki cerita yang sederhana.
Sumber Berita : Kompas.com
Sumber Jurnal Studi : Venom in Furs: Facial Masks as Aposematic Signals in a Venomous Mammal