Hari Cinta Puspa dan Satwa Nasional (HCPSN) merupakan agenda tahunan yang diperingati setiap tanggal 5 November. Tujuan dari peringatan ini adalah untuk meningkatkan kepedulian, perlindungan, pelestarian puspa dan satwa nasional serta untuk menumbuhkan dan mengingatkan akan pentingnya puspa dan satwa dalam kehidupan kita.
Peringatan HCPSN sendiri pertama kali digagas pada tahun 1993 oleh Presiden Soeharto dengan mengeluarkan Keputusan Presiden Nomor 4 Tahun 1993. Pada saat itu, Soeharto mengajak kepada penduduk Indonesia pada umumnya untuk bisa melestarikan lingkungan hidup.
Pada peringatan HCPSN tahun ini, Kukangku bersama dengan teman-teman dari Kelompok Studi Konservasi Fahutan Uniku memperingatinya dengan aksi simpatik di Kuningan, Jawa Barat.
Peringatan ini dilaksanakan pada hari minggu, 4 November di Car Free Day yang bertempat di sepanjang Jalan Siliwangi dan terpusat di sekitar Taman Pendapa di seberang kantor Bupati.
Kegiatan kampanye ini diisi dengan beragam kegiatan, seperti pameran foto edukasi satwa, aksi teatrikal satwa, dan juga penggalangan dukungan kepada masyarakat untuk mewujudkan Kuningan sebagai Kabupaten Konservasi.
Upaya Untuk Melindungi Puspa dan Satwa Kuningan
Menurut Agung Kurnia selaku koordinator aksi kampanye, peringatan HCPSN ini bertujuan untuk meningkatkan kepedulian masyarakat terhadap perlindungan dan pelestarian puspa dan satwa liar di Indonesia, khususnya di Kuningan.
Di Kuningan ini ada Taman Nasional Gunung Ciremai, yang potensi puspa dan satwanya jarang sekali orang ketahui. Kami tidak ingin ketidaktahuan ini malah menjadi ancaman kelestarian puspa dan satwa kita,” ujarnya.
Ancaman tersebut memang tidak hanya disebabkan oleh faktor alam seperti hilangnya habitat akibat kebakaran, namun beberapa kasus seringkali justru disebabkan oleh manusia itu sendiri. Perburuan, perdagangan dan pemeliharaan satwa, khususnya satwa dilindungi masih kerap terjadi di sekitar Kuningan. Padahal Kabupaten Kuningan berkomitmen untuk menjadi Kabupaten Konservasi.
Hendrian, mahasiswa Fahutan Uniku menambahkan bahwa peringatan HCPSN ini bukan hanya sekedar mengenalkan potensi keanekaragaman puspa dan satwa yang ada di sekitar Kuningan, namun juga dukungan terkait deklarasi Kuningan sebagai Kabupaten Konservasi.
Menurut Andre, peraturan daerah untuk mewujudkan kabupaten konservasi harus diimbangi juga dengan upaya perlindungan terhadap satwanya.
Menjaga lingkungan dan habitatnya memang harus, namun akan lebih baik jika selaras juga dengan upaya mencegah aktivitas kejahatan terhadap satwanya,” tutur Andre.
Kami ingin menyadarkan kepada masyarakat Kabupaten Kuningan untuk tidak membeli dan tidak memelihara satwa yang ada dalam daftar satwa dilindungi, apalagi memburu dan memperdagangkannya. Karena kami menduga perdagangan online sangat marak di Kuningan,” tuntut Andrew dalam aksinya.
Berdasarkan pemantauan Andre, satwa yang paling sering dipasarkan via online ataupun ia temukan secara langsung antara lain elang, kucing hutan dan kukang Jawa. Semua itu hendaknya menjadi perhatian pihak Pemerintah Kabupaten agar tidak dieksploitasi dan punah.
Penegakan Hukum Terhadap Pelaku Kejahatan Satwa
Sehari sebelum aksi peringatan HCPSN dimulai di Kuningan, Polres Cirebon Kabupaten berhasil menangkap dua orang yang sengaja memperjualbelikan elang dan kukang Jawa di pasar unggas, Kabupaten Cirebon.
Selain mengamankan dua pelaku, polisi juga mengamankan sebanyak enam ekor elang, empat di antaranya masih kecil, dan juga dua ekor kukang Jawa. Salah satu pelaku yang ditangkap yaitu AS (27) merupakan warga Kabupaten Kuningan.
Sebelumnya, ke enam satwa yang dilindungi ini tengah diperjualbelikan oleh dua orang pelaku di pasar unggas di Kabupaten Cirebon dan tengah menanti pemesan via online. Polisi yang mendapatkan laporan langsung melakukan penyelidikan adanya perdagangan satwa melalui pesanan online tersebut. Jumat (2/11), Polisi melakukan penangkapan para pelaku serta mengamankan ke delapan satwa tersebut.
Kapolres Cirebon Kabupaten (Cikab) AKBP Suhermanto mengatakan, modus yang dilakukan para pelaku mendapatkan pesanan dari pecinta hewan dan kemudian memesan kepada seseorang di Jawa Timur dan kemudian dipaketkan kepada pelaku untuk kembali dijual di Cirebon.
“Modus kedua pelaku ini adalah memperdagangkan satwa yang dilindungi melalui online, jadi transaksinya via online. Selanjutnya kita menyamar sebagai pembeli dengan melakukan transaksi secara online, kemudian kita tangkap dengan barang bukti berupa dua ekor kukang jawa, dua ekor elang tikus, tiga ekor elang bondol dan satu ekor elang hitam,” ujar AKBP Suhermanto.
Edukasi dan Penyadartahuan Menurunkan Minat Memelihara Satwa Dilindungi
Keberhasilan aparat penegak hukum menindak pelaku kejahatan satwa patut diapresiasi. Meski begitu bukan berarti pemicu masalah terselesaikan.
Praktek perdagangan satwa seringkali menunjuk pemburu atau pedagang sebagai sumber masalah, padahal motivasi tersebut terbentuk karena adanya peluang, yaitu pecinta hewan.
Minat pecinta hewan yang ingin memelihara inilah yang mendorong si pelaku untuk berusaha menyediakan stok satwa.
“Sama halnya seperti prinsip ekonomi, ada permintaan maka ada penawaran. Selama masih ada orang yang berminat untuk membeli dan memelihara satwa dilindungi, maka pemburu dan pedagang akan berusaha menyediakan stoknya, dengan cara ilegal,” ujar Ismail Agung, ketua dari Kukangku.
Upaya penegakan hukum memang selalu menyasar kepada pelaku kejahatan yaitu pemburu dan pedagang, sedangkan pemelihara diposisikan sebagai korban. Dengan dalih ketidaktahuan, pemelihara bebas dari jerat hukum. Padahal berdasarkan UU No. 5 Tahun 1990 pemelihara bisa juga mendapatkan sanksi yang serupa.
Edukasi dan penyadartahuan kepada masyarakat terkait satwa dilindungi memang perlu disebarluaskan. Hal ini sangat penting agar masyarakat tidak terlibat dalam rantai perdagangan kejahatan satwa dan memperkokoh oknum oknum yang meraup keuntungan dari ketidaktahuan masyarakat.
Menurut Ismail Agung, “Kadang ada juga yang sengaja membeli satwa dilindungi dengan niat untuk menolong. Satwa yang sudah dibeli nantinya diserahkan kepada yang berwajib atau dilepaskan liarkan. Niatnya memang baik, sayangnya ini tidak menyelesaikan akar permasalahan, malah semakin menambah rumit karena pemburu dan pedagang akan semakin termotivasi untuk mengambil lagi satwa dari alam.”
Setidaknya jika masyarakat sudah teredukasi dengan baik, keterlibatan masyarakat terhadap kejahatan satwa bisa dicegah dengan tidak membeli dan tidak memelihara. Yang lambat laun akan memutus rantai perdagangan itu sendiri.
Sumber berita diambil dari Radar Cirebon