Selepas sahur dan kumandang adzan subuh, Aku mengawali hari di bulan suci ini dengan bersepeda motor menuju kantor Yayasan Inisiasi Alam Rehabilitasi Indonesia (YIARI). Diselimuti dengan perasaan menggebu-gebu dan antusias penuh mengikuti kegiatan pelepasliaran kukang kali ini. Ditemani dengan kabut tipis dan udara dingin nan sejuk di kaki Gunung Halimun Salak, Bogor.
Sambil mengendarai sepeda motor, lamunan demi lamunan mengisi pandanganku. Banyak pertanyaan dan kegundahan di hati ini mengenai manusia yang selalu merasa superior dibandingkan dengan makhluk hidup lainnya. Bahkan sesama manusia saja masih sering merendahkan manusia yang lain, entah faktor perbedaan umur, jabatan, keilmuan yang dimiliki, atau kedekatan yang mengatasnamakan “kekeluargaan”. Fakta yang menyatakan bahwa memang manusia tidak akan pernah puas sampai kapanpun, menyadarkan lamunan ku.
“Eh… sudah sampai di kantor” ujar ku dengan terkejut.
Lamunan itu menyebabkan diriku terlambat 12 menit sampai di kantor. Sudahlah mari kita menikmati perjalanan pelepasliaran kali ini.
Perjalanan dimulai dari kantor YIARI, Bogor dengan tujuan akhir Cagar Alam Gunung Simpang, Cianjur. Tepatnya Desa Sukabakti, Cianjur. Bersama Tim Pelepasliaran YIARI kami mengendarai tiga buah mobil. Dua mobil berisi Aku dan Tim Pelepasliaran dan satu mobil bak mengangkut lima kandang translokasi kukang. Tentunya kami berjalan beriring-iringan seperti sedang touring.
Baca juga : Rina Mutia, Ikut Pelestarian Orangutan Sumatera Lewat Riset
Selama perjalanan di tol kami isi dengan mendengarkan musik-musik oldies, obrolan ringan bahkan gosip-gosip selebriti, kemacetan jalanan urban yang monoton, dan muka-muka kurang tidur selepas sahur.
Keluar tol lalu melipir sebentar untuk istirahat dan mengecek keadaan kukang di depan Masjid Agung Al-Fathu Soreang.
“Kok kandangnya disiram Kang?” ujar diriku dengan penasaran.
“Iya kandangnya disiram biar kukangnya tidak kepanasan. Karena kita melakukan perjalanan pagi menuju siang” jawab Tim Pelepasliaran YIARI.
Kami kembali melakukan perjalanan, kali ini pemandangan sudah berubah menjadi hutan pinus, kebun kopi, para pedagang strawberry, dan kebun teh. Hal itu menandakan kalau Kami sudah memasuki daerah Ciwidey. Udara yang sangat sejuk menenangkan pikiran dan melepas kepenatan.
Kami berhenti kembali di toko swalayan terakhir sebelum memasuki kawasan pedesaan. Kami membeli beberapa keperluan selama pelepasliaran nanti. Seperti biasa melakukan pengecekan kukang, memastikan mereka dalam keadaan baik.
Menikmati pemandangan yang luar biasa indahnya disisa perjalanan tentu paling lengkap dengan melamun kembali. Lamunan kembali merasuki diriku, memastikan kukang dalam keadaan baik? Bukankah itu menandakan bahwa kita sebagai manusia harus sadar bahwa bumi ini tidak hanya dihuni oleh manusia saja. Bahwa manusia membutuhkan makhluk hidup lainnya? Bahwa kita harus berbuat baik pada siapapun dan apapun itu. Memperkuat hubungan vertikal dengan Tuhan dan horizontal dengan sesama makhluk ciptaan-Nya. Lalu bagaimana memberi batasan kepada manusia? Sedangkan manusia merupakan makhluk yang tidak akan pernah puas? Sayangnya perjalanan masih harus dilanjutkan.
Baca juga : 3 Alasan Kenapa Kukang Ditemukan di Permukiman
Jam menunjukkan pukul 11.45 WIB, sampailah kami di lokasi tujuan, Desa Sukabakti, Cianjur. Disebuah rumah warga yang sangat sederhana kami menginap. Walaupun sederhana namun mampu menyediakan semua keperluan manusia. Kami beristirahat sebentar dan melakukan persiapan lalu menuju titik lokasi untuk ceremony dan start pendakian menuju kandang habituasi.
Tidak terduga hujan turun dengan sangat deras. Banyak keluhan yang terdengar dari beberapa orang.
“Yah hujan!” ujar orang satu.
“Duh mau mulai jam berapa nih?” tambah orang dua.
“Kenapa harus hujan sih?” tambah orang tiga.
Akhirnya kami melakukan rencana lain dengan melakukan ceremony di dalam rumah ibadah, ya di dalam Musolah terdekat. Selesai ceremony, hujan tidak kunjung reda. Menimbang berbagai resiko, Tim Pelepasliaran YIARI memutuskan untuk tetap melaksanakan translokasi dengan mengenakan jas hujan dan payung.
Mulailah pendakian pada pukul 16.00 WIB, Tim Pelepasliaran YIARI masing-masing satu orang menggendong satu kandang translokasi kukang. Tim Media berlarian kesana-kemari sibuk mengambil gambar dan video. Sedangkan Aku membantu Tim Media tentunya dengan mengenakan kamera go pro di kepala yang sibuk bernyanyi menghibur orang-orang selama pendakian.
Jalur dimulai dengan persawahan dan vegetasi terbuka sehingga pemandangan yang luar biasa indah terpampang nyata di depan mata. Banyak air terjun yang mencuat keluar dari tebng-tebing yang tinggi nan jauh. Tak lama jalur berganti menjadi vegetasi rapat dan hutan, kami memasuki pintu rimba.
Hari mulai gelap dan semakin dingin, tiba-tiba diriku merasakan kerinduan yang luar biasa dengan rumah. Biasanya pada jam-jam segini orang-orang rumah sedang sibuk menyiapkan takjil dan menu berbuka puasa sambil menunggu adzan magrib di televisi. Kali ini berbeda, aku bersama Tim Pelepasliaran masih terus berjalan untuk melepasliarkan makhluk hidup yaitu kukang. Lelah, letih, lapar, dan dinginnya udara karena guyuran hujan bercampur aduk.
Sampailah di kandangan habituasi, translokasi dilakukan. Lalu jam di tangan sudah menunjukkan pukul 18.00 WIB, alhamdulillah waktunya berbuka puasa. Dengan snack seadanya dan air mineral, kami berbuka puasa dan berbagi dengan sesama. Kehangatan terasa, tidak memandang umur dan jabatan, semua makan dan minum satu rasa. Luar biasa bahagianya bisa berbuka puasa di dalam hutan dan berhasil mengantarkan kukang ke habitat aslinya.
Kukang di kandang habituasi
Foto : Fattrei
Perjalanan turun menjadi jalur yang sangat curam, mengatasi hal itu kami mengisinya dengan canda tawa dan kata-kata penyemangat. Tidak lupa juga memanen beberapa tumbuhan yang bisa disantap seperti pohpohan dan jantung pisang.
Selama perjalanan turun, sesekali lamunan saya kembali muncul. Untuk apa pelepasliaran ini? bikin cape dan lelah. Manusia juga makhluk yang tidak pernah puas. Merasa merekalah yang paling penting di bumi ini. Merasa merekalah yang paling superior. Lalu kenapa mereka semua rela berkorban tenaga dan pikiran hanya untuk kukang? lapar dan haus dihiraukan demi satwa kukang.
Tiba-tiba lamunan ku terhenti tim paling depan memberi kode untuk beristirahat sejenak, tanpa disadari saya berteriak.
“Semangat Mba Ria! I Love You! You Can Do It! Syalalalalala” teriak ku dengan penuh semangat.
Semua orang tertawa mendengar itu,
Sesampainya di penginapan, kami makan, mandi, dan beristirahat. Malam hari diisi dengan gurauan-gurauan dan cerita selama pendakian tadi,
Keesokan harinya, kami berkemas untuk perjalanan pulang. Selama perjalanan pulang dengan lanskap alam lalu berganti menjadi jalanan urban muncul didalam hati dan pikiran ku yaitu sebuah lagu yang berjudul Blessing by Hollow Coves. Entahlah lagu ini menjadi penghibur lara dan menjawab semua lamunan ku di dalam narasi ini.
Aku tersadar bahwa kehidupan bukan hanya tentang karir, uang, status, dan ketenaran melainkan menikmati masa-masa dalam hidup yang berharga, cinta, dan alam. Memang manusia adalah makhluk yang tidak akan pernah puas. Bahwa hal yang bisa membatasi manusia adalah rasa syukur. Dengan bersyukur manusia akan merasa rendah diri dan menyadari bahwa mereka bukan satu-satunya makhluk yang ada di bumi. Semua makhluk hidup diciptakan untuk saling melengkapi dan menghidupi bumi. Seperti pelepasliaran kali ini, apalah artinya hutan Gunung Simpang tanpa kehadiran kukang? hanya pemandangan yang indah namun sepi.
“Wilderness without wildlife is just scenery”
Lois Crisley