Sudah 42 tahun, Willy Ekariyono atau yang akrab dipanggil Om Willy ini telah berkecimpung di dunia fotografi satwa liar. Pengalamannya mengambil foto ikonik satwa-satwa di Indonesia menjadikannya salah satu fotografer satwa liar yang mumpuni di Indonesia. Melalui foto-foto itulah, Om Willy menyebarkan isu konservasi dan mengajak masyarakat untuk ikut melestarikan satwa liar.
Seperti apa sih cerita Om Willy dalam menekuni fotografi dan pelestarian satwa secara bersamaan. Tim Kukangku mewawancarai fotografer ini secara langsung pada Selasa (12/06/2023).
Apa sih yang membuat Om WIlly tertarik dengan fotografi satwa liar dan konservasi?
Saya dari dulu tertarik dengan wildlife dan suka melihat satwa di alam karena kelihatan lebih indah. Jadi ingin gitu menyebarkan virus konservasi. Agar orang-orang tersadar kalau ada satwa endemik di Indonesia yang masih di habitatnya. Setelah mereka tahu, pasti akan mengulik lebih lagi dan mencari cara apa saja yang harus dilakukan untuk melestarikan itu semua.
Selain itu, yang jadi menarik adalah keanekaragaman hayati itu semuanya punya fungsi masing-masing berdasarkan relungnya. Dan itu menarik untuk diulik lebih dalam. Nah, saya berusaha menangkap momen di alam itu melalui foto sebagai media konservasi.
Apa saja yang dikerjakan selama menjadi fotografer satwa liar dan apa pengalaman yang paling berkesan?
Kebetulan saya ada juga pekerjaan diluar tapi memang tidak jauh-jauh dari alam. Pengalaman yang paling berkesan waktu saya terlibat pembuatan raptor sanctuary namanya suaka elang. Saya bergabung untuk membentuk suaka karena ke-trigger sama adanya spesies elang jawa atau garuda sebagai simbol lambang NKRI yang ternyata secara spesifik belum ada yang mengurusnya. Saya takut nanti anak-anak bertanya garuda bagaimana di alam masih ada atau engga. Elang-elang yang masuk ke suaka nanti diajarkan dan dilatih untuk nanti bisa liar lagi di alam setelah dilepasliarkan. Seharusnya tiap wilayah dibuat suaka satwa endemik berdasarkan wilayahnya
Selain itu, saya mencoba juga untuk mengajak korporasi asing untuk bergerak dalam aktivitas pelestarian. Saya juga bergabung dalam pengembangan desa wisata ramah burung yang jadi tempat konservasi berbasis masyarakat. Masyarakat yang awalnya pemburu jadi berubah menggiatkan konservasi. Dengan desanya dikunjungi turis, yang tadinya ekonomi sedikit jadi bertambah.
Lalu ada juga bisnis madu, gula aren, dan kopi yang bisa berkembang. Ada juga homestay serta pusat research untuk masyarakat bisa mengembangkan tempat wisata. Dengan adanya wisata di desa orang orang yang suka kicauan atau burung bisa nginep di homestay. Berbeda halnya jika perburuan masih ada, hal itu bisa buat penurunan spesies dan hanya jadi mata pencaharian sesaat. Desa wisata bisa mengundang orang datang dan lebih sustainable terus ekonomi kerakyatan jadi tumbuh.
Baca juga : Catatan Perjalanan : Kembalikan Kukang ke Habitat Asli di Gunung Simpang
Saya sering menyemangati teman-teman yang ada di luar bidang kehutanan dan lingkungan untuk bisa membuat buku soal alam dan keanekaragaman satwa. Terkadang mereka lebih jago dari orang yang kuliah di bidang itu. Suatu perubahan itu yang saya senangi.
Lalu saya dan teman-teman fotografer membuat komunitas fotografi satwa liar indonesia dengan harapan setiap daerah ada putra daerah yang membuat karya melalui fotografi dan tentunya putra daerah atau komunitas ini lebih tau ekosistem yang ada di sekitarnya. Sekarang komunitas ini hampir ada di setiap kota dan provinsi. Harapannya setelah berkembang besar bisa mengundang para penulis dan peneliti mancanegara karena nantinya mereka juga bisa dimudahkan dengan ada putra daerah yang tersebar di Indonesia.
Banyak pencapaian lain salah satunya kolaborasi pembuatan buku panduan capung. Yang saya senangi adalah buku capung yang dibuat memuat nama lokal capung yang sebelumnya belum pernah ada. Semoga ini bisa jadi referensi peneliti dan pembuatan buku berikutnya.
Sudah berapa lama berkecimpung di dunia fotografi satwa liar?
Mulai fotografi semenjak saya tinggal di sekitar Kebun Raya Bogor. Banyak yang foto kingfisher di Danau Kebun Raya, nah disitu banyak WNA asing datang untuk fotografi dan saya mulai tertarik. Lalu saya masuk biologi dan melakukan pengamatan botani memotret dengan kamera apa adanya. Saya menekuni mulai pada 1981. Dan sempat berhenti karena sibuk bekerja. Saya punya tekad saat bekerja harus masuk ke sistem, jadi saya mengikuti meeting agar saya bisa mengajukan ide isu lingkungan dan saya punya foto untuk ditunjukkan.
Melalui foto saya rasa suatu kejadian dapat diceritakan ibaratnya biarlah foto yang berbicara. Paling ditambahin narasi sedikit biar orang percaya. Itu lah saya hasilnya bisa beli kamera DSLR yang enak tuh.
Saat saya kerja sempat merasa jenuh stress akhirnya saya hunting-hunting saja lalu ketemu kelompok yang suka pengamatan burung. Dari situ saya mulai lebih intense lagi dan kolaborasi dengan teman-teman bikin buku. Kadang saya diminta juga jadi kurator dan juri untuk acara lomba foto.
Bisa bagikan unek-unek om selama menjadi fotografer gak?
Unek-unek saya nih ya sebagai fotografer satwa liar, transportasi dan akomodasi mahal untuk orang di Indonesia. Padahal, biodiversitasnya di sini keren dan bermacam-macam. Pada saat saya mau foto di kawasan konservasi, harus ada surat ijin masuk kawasan atau simaksi. Itu saya setuju, tapi adanya simaksi tidak ngejamin buat foto itu ada.
Baca juga : Yusuf Alfaza, Neliti Kukang Untuk Bantu Masyarakat Sekitar
Baru masuk saja sudah ditegur sama satpam, katanya tidak boleh pakai kamera besar. Seharusnya pemberitahuan ini ada di gerbang. Lalu, seharusnya ada alasan yang jelas toh (fotonya) bukan untuk komersil tapi buat edukasi. Biasanya foto yang dari kawasan konservasi akan diminta simaksi, kalo tidak ada dianggap mencuri obyek. Jadi harus minta izin memang sebenarnya. Jadi saya lebih suka foto di luar kawasan TN, seperti di urban atau pedesaan.
Ada pesan atau himbauan untuk masyarakat terkait pelestarian satwa liar?
Konservasi dari saya, saya usahakan melalui foto. Foto sebagai bukti, buatlah foto apa adanya dan tidak dimanipulasi saya ingin bilang bahwa melalui foto ini adalah titik masuknya konservasi. Katakan ada binatang endemik, orang tertarik melihatnya dan menyadari ternyata satwa liar lebih indah di alam daripada di kandang. Akhirnya orang orang cari tau soal makanannya dan habitatnya serta cara pelestariannya.
Nah dari situ harus diperhatikan, apabila ada berbenturan antara habitat dan masyarakat desa bisa dicoba untuk memanfaatkan yang ada disana. Contohnya seperti bird watching lalu budidaya seperti kopi dan bisa menjadi nilai ekonomi bagi masyarakat. Saya bersyukur sekarang bikin konten konservasi makin gampang. Jadi diharapkan bisa digunakan lagi lewat musik, lagu, video, podcast, film, dan buku. Tetap foto apapun resikonya sebelum punah!
—
Artikel profil #penyelamatkukang dibuat agar dapat menginspirasi masyarakat untuk ikut mendukung pelestarian kukang ataupun satwa liar di Indonesia. Mari bersama kita jaga habitat dan keberadaan satwa liar di alam bebas!