Dalam beberapa tahun terakhir, kampanye konservasi kukang di media digital semakin muncul ke permukaan. Generasi muda yang makin melek pada isu kukang juga ikut aktif berkampanye. Dengan berani anak-anak muda menentang kejahatan terhadap kukang, dan mengedukasi masyarakat terkait pelestarian kukang di habitatnya.
Seperti yang dilakukan oleh Devia Ariesta, mahasiswa Program Studi Biologi Universitas Padjadjaran yang aktif magang di kukangku. Pada kukangku, Devia menceritakan bagaimana awal mula hingga ia bisa ikut berkecimpung dan pengalamannya selama 3 bulan magang.
“Awalnya bertemu dengan Agung Ismail, ketua Kukangku, saat sedang mengikuti kegiatan talk show di kampus. Kemudian, dari pertemuan itu, saya menghubungi kang Agung untuk ikut magang di Kukangku,” ujarnya.
Baca juga : Sadarnya Mantan Pemelihara Kukang, Kini Peduli Konservasi
Devia menuturkan bahwa dirinya sudah magang sejak bulan Juli di kukangku. Ia membantu pendataan berita kukang yang ada di media massa serta media sosial. Data ini akan digunakan Devia sebagai data skripsi, sekaligus untuk membuat analisa berita konservasi kukang secara digital.
“Saya melakukan analisis data menggunakan perangkat lunak digital seperti data miner, excel dan google data studio yang berguna untuk mengumpulkan data-data berita kukang dari internet. Saya melihat data-data di media pemberitaan ternyata dapat berpengaruh terhadap pelestarian kukang,” ujar Devia saat diwawancarai oleh Kukangku pada Jum’at, 17 September 2021.
Meskipun terdengar aneh, lanjutnya, namun upaya konservasi memang tak hanya terpaku dari data lapangan. Devia menuturkan bahwa data digital pun ternyata memberikan banyak informasi terkait strategi konservasi kukang. Data tersebut kemudian dia olah menjadi data persebaran kukang yang ditampilkan dalam bentuk visual.
“Ternyata, ada sub bidang di konservasi namanya digital conservation. Konservasi ternyata bisa dilakukan secara digital dari media sosial dan internet. Apalagi di jaman sekarang dimana hampir seluruh kegiatan mulai beralih ke digital. Tentunya, data ini dapat membantu baik untuk kampanye, ataupun penelitian ke depannya,” tuturnya.
Mahasiswa yang memilih spesialisasi ekologi ini awalnya tertarik pada kukang karena mengikuti kegiatan pemantauan kukang pasca-release bersama Yayasan IAR Indonesia di Kawasan Konservasi Taman Buru Gunung Masigit-Kareumbi, Kecamatan Cicalengka, Kab. Bandung. Bersama teman-temannya, ia melihat langsung satwa ini hidup di habitat aslinya.
Tidak seperti primata lainnya, kukang merupakan satwa nokturnal atau aktif di malam hari, yang menurut Devia menjadi salah satu keunikan dari primata ini.
“Pertama kali lihat kukang itu lucu ya, selain itu saya tertarik pada upaya konservasi yang dilakukan untuk pelestarian satwa ini. Makanya, saya kemudian ingin mendalami tentang kukang dan konservasinya,” ujarnya.
Masih adanya tantangan konservasi kukang, lanjutnya, disebabkan banyak masyarakat yang belum tahu apa itu kukang. Misalnya, seperti membedakan apa itu kukang dan kungkang. Lalu, belum banyak masyarakat yang peduli terhadap keberadaan kukang, berbeda dengan satwa seperti Harimau yang sudah dinyatakan kritis.
“Edukasinya belum luas dan masih banyak yang belum tahu seperti apa sih kukang itu. Makanya generasi muda harus memiliki tanggung jawab pada edukasi dan konservasi kukang di masa depan,” kata Devia.
Menurutnya, saat ini generasi muda sudah mulai sadar terhadap konservasi satwa, dan hal itu terlihat dari interaksi media sosial. Misalnya, seperti kasus Harimau yang ditemukan mati di Sumatra, ia melihat banyak sekali komentar yang kesal dengan kondisi tersebut dan mendukung pelestarian Harimau.
“Banyak yang bilang dan mengingatkan seperti, ‘Harimau ini memang kehilangan habitatnya’, ‘Emang manusianya yang ambil lahan hidupnya’, di kolom komentar. Berarti kan anak-anak muda sudah peduli dong soal pelestarian satwa liar di Indonesia,” ujarnya.
Namun, lanjutnya, di beberapa platform seperti TikTok malah banyak netizen yang mendukung pemeliharaan satwa, seperti misalnya pemeliharaan monyet ekor Panjang. Menurutnya, sudah saatnya generasi muda saling mengedukasi agar tidak memelihara satwa liar.
“Kadang sedih ya lihat ada konten postingan soal pelihara satwa kaya monyet, dan banyak juga netizen lain yang seneng dengan konten begini. Ini nih yang harus di stop,” ujarnya.
Perempuan berusia 21 tahun ini berharap agar generasi muda sekarang bisa membantu upaya konservasi di dunia digital. Generasi sekarang harus mendominasi internet dengan konten-konten konservasi yang edukatif. Bukan malah menormalisasi kegiatan pemeliharaan satwa liar yang sekarang banyak berseliweran di media sosial.
“Pesen aku untuk temen-temen yang masih muda, ini kesempatan kita yang melek dunia digital dan sekarang sedang berkembang pesat. Baiknya kita memberikan awareness terhadap masyarakat terkait pelestarian kukang,” katanya.