Monyet ekor panjang, biasa juga dikenal dengan sebutan monyet pantai atau monpai, adalah salah satu jenis monyet asli Indonesia yang paling banyak ditemukan di seluruh bagian kawasan nusantara.
Sebaran habitat alami monpai dapat dijumpai di Sumatera, Jawa, Kalimantan hingga kepulauan di Bali dan Nusa Tenggara. Bahkan dalam beberapa tahun terakhir ini, monpai juga ditemukan di tanah Papua sebagai invasif spesies yang dibawa oleh pendatang dari luar pulau.
Sebagai salah satu jenis primata Indonesia yang tidak dilindungi, status ini terkadang disalahartikan sebagai izin untuk mengeksploitasinya. Baik dalam bentuk jual beli, bahkan memeliharanya.
Tren memelihara monyet memang sudah berlangsung lama. Sama dengan tren topeng monyet yang memang banyak menggunakan jenis monpai sebagai satwa terlatihnya. Namun tren pemeliharaan monyet kini semakin marak diperlihatkan melalui platform berbagi video yaitu Youtube.
Berdasarkan data yang dikumpulkan dengan kata kunci ‘monyet’ pada mesin pencari Google dan juga pencarian Youtube, dalam rentang 2018-2020 menunjukan peningkatan jumlah konten maupun akun channel yang signifikan. Angka pertumbuhan konten maupun channel tersebut mencapai 100% setiap tahunnya.
Jumlah konten monyet di akhir 2020 tercatat ada sekitar 334 konten video yang diunggah dari 204 channel. Hampir satu video perhari. Jumlah konten tentunya bisa jauh lebih banyak, karena data yang diambil hanya berlaku untuk kata kunci ‘monyet’ yang ditemukan pada judul maupun deskripsi konten.
Lalu, bagaimana dinamika konten dan channel berdasarkan waktu unggahan?
Dari data, ditunjukkan bahwa konten video dan channel pemeliharaan monyet paling tinggi ditunjukkan pada bulan Oktober 2020. Sedangkan titik balik kenaikan jumlah konten terjadi pada bulan Februari 2020.
Jika melihat hubungan antara jumlah unggahan konten dengan situasi yang terjadi, pandemi yang mulai dirasakan di bulan Februari sangat berimbas pada penurunan konten video monyet. Hal ini, bisa jadi disebabkan karena perhatian masyarakat yang teralihkan pada pandemi. Namun, di bulan Mei, angka unggahan konten seperti melanjutkan tren yang terjadi di Desember 2019, dan fluktuatif setelahnya dengan jumlah di atas 20 konten per bulan.
Kembali ramainya konten monyet di bulan Mei 2020, bukan hanya disebabkan perhatian masyarakat yang mulai berkurang terhadap pandemik. Selama kurun waktu Februari-April 2020, isu monyet sempat menjadi perhatian akibat pengaruh influencer yang membagikan konten monyet peliharaannya.
Influencer jelas memberikan pengaruh terhadap persepsi publik. Ketika monyet dilumrahkan sebagai objek peliharaan, maka tidak menutup kemungkinan akan banyak pengikut melakukan hal yang sama dan berdalih dengan alasan yang serupa.
Hal tersebut memang ditunjukkan dalam bentuk konten yang ditampilkan. Konten-konten video kami kategorikan dalam dua kategori utama yaitu video yang mencitrakan monyet dengan kehidupan liar, dan video yang mencitrakan monyet dalam penanganan manusia. Dari kedua kategori tersebut, kami menempatkan kembali konten-konten video berdasarkan subkategori seperti dokumenter, berita, kebun binatang, peliharaan, perdagangan, rescue, topeng monyet dll.
Dari pembagian kategori konten, monyet sebagai peliharaan jauh mendominasi dibandingkan konten-konten lainnya. Bahkan pertumbuhannya meningkat drastis di tahun 2020. Kategori monyet sebagai peliharaan bisa dilihat dari bagaimana interaksi antara manusia dan monyet yang ada di dalam video. Seperti bermain, memandikan, memberi makan, dan juga mengendong.
Menariknya, pemelihara jarang mau menampilkan sosok dirinya secara jelas. Hanya sebagian anggota tubuhnya saja, meski monyet sedang digendong atau merangkul.
Baca juga: 3 Hal Yang Harus Kamu Ketahui Sebelum Memelihara Primata
Jumlah viewers turut berpengaruh terhadap keberadaan konten. Semakin banyak viewers maka semakin mendorong channel untuk mengunggah video selanjutnya. Bahkan tidak menutup kemungkinan memunculkan ide-ide yang kelewat batas dalam memperlakukan monyet (sebut saja Ale Pro dan Rian Abang Satwa).
Peluang Youtube dalam memonetisasi konten jelas menjadi ladang baru menambah penghasilan. Maka kehadiran konten monyet peliharaan yang menjamur, tak jauh dari upaya untuk mendapatkan akreditasi iklan dari Youtube.
Youtube memang memfasilitasi pelaporan terkait konten yang bersifat penyiksaan satwa. Sayangnya, fasilitas kategori pelaporan ini hanya ada jika menonton Youtube melalui browser komputer. Mengingat jumlah pengguna unik Youtube di Indonesia yang mencapai 83% pengguna smartphone, seharusnya fitur ini tersedia di berbagai perangkat.
Usia monyet peliharaan yang ditampilkan dalam video memang sangat beragam. Akan tetapi, 93% konten monyet peliharaan adalah bayi tanpa induk. Bayi-bayi monyet memang menarik untuk diperlihatkan. Tingkah laku mereka yang lucu dan menggemaskan (serta dianggap jinak), sangat berbeda sekali dengan monyet dewasa yang cenderung agresif atau tak lucu lagi. Monyet dewasa pada video seringkali ditunjukkan dengan kondisi terikat rantai dan dalam kandang yang sempit.
Dengan banyaknya jumlah bayi monyet yang dijadikan konten, tentu patut dipertanyakan darimana monyet tersebut berasal, bagaimana cara mendapatkannya, dan apa yang terjadi pada induknya?
Lalu, siapa yang paling diuntungkan dari maraknya konten-konten pemeliharaan monyet seperti ini. Tak lain dan tak bukan tentu saja pemburu dan pedagang ilegal. Kehadiran konten pemeliharaan monyet akan mendorong minat masyarakat untuk ikut-ikutan mencoba dan membeli.
Pada akhirnya, permintaan monyet akan mendorong pemburu untuk mengambil lebih banyak monyet dari alam. Pedagang akan menyediakan stok monyet di kandang-kandang sempit dan kotor, agar calon pemelihara merasa iba dan membawanya pulang.
Bagikan fakta ini agar semakin banyak primata manusia yang tercerahkan.
Data dan tulisan : Ismail Agung & Kevin Triandhika