Memelihara hewan cukup digandrungi masyarakat Indonesia. Terutama semenjak masa pandemi. Namun, tak sedikit masyarakat yang memilih untuk menjadikan satwa liar sebagai peliharaan di rumah, seperti buaya, monyet ekor panjang, kucing hutan atau bahkan kukang.
Tingginya animo masyarakat memelihara satwa liar diduga didorong oleh banyak faktor. Salah satunya dari pengaruh media sosial. Maraknya influencer yang flexing atau pamer satwa liar dinilai memicu keinginan masyarakat untuk ikut memelihara.
Ternyata hal ini dapat dijelaskan dari sisi psikologi manusia. Psikolog sosial dan peneliti satwa, Puspita Insan Kamil, mengatakan bahwa ada beberapa alasan kenapa masyarakat senang memelihara atau memamerkan peliharaannya. Hal ini disampaikannya dalam thread di akun twitter pribadinya @PuspitaKamil
Menurutnya, narsisisme atau vulnerable narscissism pada seseorang menjadi salah satu alasan mereka memelihara satwa liar.
Hal ini didorong keinginan seseorang untuk menjinakkan satwa yang sifatnya masih liar.
“Narsisisme cenderung ditemukan pada pemelihara satwa non tradisional seperti reptil atau primata. Bayangin dong apa yang dilihat orang lain Ketika kamu berhasil ‘jinakin’ harimau? Makanan baik untuk ego yang rapuh,” kata Puspita.
Kagum pada alam liar
Alasan lainnya, seseorang memelihara satwa liar karena pada dasarnya mereka memiliki kekaguman pada alam liar.
“Kecenderungan ini dinamakan biofilia dan umum ditemukan pada manusia sebagai produk peninggalan masa lampau karena dulunya manusia berburu dan hidup di alam liar,” ujarnya.
Baca juga : Julitasari, Pelajari Perilaku Kukang Demi Konservasi Satwa
Puspita juga menerangkan bahwa manusia memiliki kecenderungan untuk mengontrol lingkungan sekitarnya. Hal ini disebabkan manusia takut pada ketidakpastian sehingga harus membuat hal-hal di sekitarnya menjadi pasti.
“Kagum terhadap alam liar membuatmu ingin ‘miniatur’nya, yang bisa kamu kontrol dgn ‘caramu’. Ini adalah efisiensi sumber daya yang dilakukan manusia selama ribuan tahun,” terangnya.
Ada juga alasan untuk memancing ketertarikan calon pasangan, lanjutnya, seperti menunjukkan bahwa seseorang mampu merawat sesuatu atau dikenal dengan istilah parental signal.
“Memancing ketertarikan calon pasangan potensial untuk punya anak di masa depan. Kalau binatang liar saja bisa kamu urus, itu level yang jauh di atas binatang domestik,” katanya.
Bentuk perawakan satwa liar juga bisa menjadi alasannya, misalnya seseorang tertarik pada satwa dengan dagu sempit, mata besar dan badan yang seperti bayi. Hal ini dapat terlihat pada satwa seperti kukang atau sugar glider.
“Namanya paedomorfisme. Ini alamiah, dianggap membantu bayi agar dianggap lucu, menarik perhatian orang dewasa untuk merawat, dan akhirnya bertahan hidup,” ujarnya
Dominansi manusia terhadap satwa
Kecenderungan untuk mendominasi makhluk lain juga disinyalir berhubungan dengan sisi psikologis seseorang saat memelihara satwa liar. Puspita menuturkan, satwa liar dapat mendukung sisi dominansi seseorang karena memiliki akses yang tidak orang lain punya.
Satwa yang sulit didapat jelas mendukung itu. Ini menunjukkan kekuatanmu dalam tatanan sosial. Jika tidak ada hal untuk dibanggakan, piaraan memang jalan pintas yang mudah,” tutur Puspita.
Ada juga tujuan yang tidak berhubungan dengan psikologi dan memang murni untuk ekonomi, seperti membuat konten, ataupun menjadi peternak (breeder).
Baca juga : Tren Pelihara Monyet Marak di Instagram, Influencer Jadi Penyebab
“Ya ga ada alesan psikologis. Mereka mirip sama manusia ribuan tahun lalu yang menjinakkan satwa liar murni karena fungsi praktisnya (utilitarianisme) dan memang menganggap manusia ada di puncak tatanan ekologi,” kata Puspita
Padahal menurutnya, manusia tidak ada dalam puncak tatanan ekologi. Manusia murni dapat bertahan hidup karena teknologi yang diciptakannya.
“Bukti-bukti historis menunjukkan kita ini survive sampai sekarang karena teknologi yang kita buat. Makanya bisa kalah itu satwa-satwa besar sama manusia yang fisiknya kecil ini,” imbuhnya.